RI3SKA.COM – Tahun 1985 saya pernah mengikuti lomba pidato tingkat kecamatan Sokaraja Banyumas, Jawa Tengah, dalam rangka memperingati Hari Kartini. Saya baru saja lulus SMA, saya mendaftar dan saya siapkan dua lembar tulisan saya sendiri sambil bergaya di depan cermin yang ada di kamar mandi, setiap hari semakin dekat hari perlombaan saya semakin rajin mempersiapkan diri.

Sebelumnya, saya pernah mewakili lomba membaca puisi tingkat SMP di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Tapi tidak menang. Kegiatan menulis saya lanjutkan di SMA dengan menjadi staf redaksi buletin sekolah. Kecintaan saya pada menulis membuat saya memutuskan untuk ikut lomba pidato tersebut.

Persiapan rupanya tak menghianati hasil, tulisan saya menang sebagai juara ke 1. Muncullah perkara baru, semua peserta lomba diwajibkan memakai kain dan kebaya.

Keluarga saya berada dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Memakai kain dan kebaya komplit dengan sanggul ke salon adalah suatu kemewahan yang tidak dapat kami bayar. Apalagi waktu masih gadis saya langsing, sementara di tempat penyewaan kebaya biasanya ukurannya untuk para ibu yang tubuhnya lebih lebar.

Artinya, saya harus membeli kain dan menjahit kebaya. Artinya pengeluaran ekstra, sesuatu yang tidak tergapai.
Singkat cerita, saya naik ke panggung dengan pakaian batik yang sangat sederhana, bukan kebaya, saya tetap percaya diri, toh naskah saya menggondol juara pertama.

Rupanya, meski juara pertama karena tidak memakai kain kebaya, saya tidak boleh tampil pas puncak peringatan hari Kartinii. Sang juara ke-2 yang tampil dengan terbata-bata dan kikuk membaca teks. Terdengar gemuruh dari bangku hadirin, para undangan protes kepada penyelenggara. Kenapa bukan si juara satu saja yangg tampil. Hati saya kecewa, mata sudah sembab hampir menangis.

Pada perayaan hari Kartini tingkat kabupaten, diumumkan juga bahwa Gubernur Jawa Tengah, Supardjo Rustam beserta ibu hadir di Pendopo Kabupaten Banyumas. Dari sekian para pemenang dari kabupaten-kabupaten, saya yang ditunjuk untuk berpidato dan tentu saja lagi-lagi harus mengenakan kain dan kebaya.

Sekali lagi kluarga saya keberatan membelikan saya kain dan kebaya, biar saya mau tampil di depan pejabat level Gubernur sekalipun. Saya menangis, antara sedih marah, dan kecewa.

Tetapi apa daya saya hanya seorang gadis kecil baru lulus SMA, mau berontak kepada siapa? Kepada orang tua yang miskin tidak bisa beli kain dan kebaya? Atau kepada para perempuan di tingkat kabupaten yang masih “kekeuh” menuntut bahwa hari Kartini adalah hari berkain dan kebaya, bersanggul cantik ke salon.

Tanpa mempertimbangkan di sisi lain, ada seorang gadis cilik yang tak berdaya,
“O, begini rasanya terjajah oleh keadaan dan pola pikir yang sempit”, jerit saya dalam hati yang dirundung kemalangan karena tak jadi tampil di hadapan Gubernur Jawa Tengah.

Pengalaman pedih ini tetap tertanam dalam benak saya. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1995, saya menikah dan diboyong suami ke Italia. Saya tinggal di kota Bergamo. Pada saat saya mengikuti kursus bahasa Italia di Universitas Bergamo, datanglah seorang Assisten Sociale (asisten sosial) dari Provinsi Bergamo, mengundang perempuan-perempuan asing yg tinggal di Bergamo untuk berkenalan dgn para tokoh-tokoh perempuan perwakilan dari berbagai organisasi perempuan yang ada di Bergamo.

Beragam latar belakang mereka, dari mukai tokoh politik, pengusaha perempuan, dan dari kantor pemberdayaan perempuan wilayah provinis Bergamo. Dari satu kelas hanya saya yang tertarik ikut pertemuan pertama, ternyata mereka akan mengadakan peringatan Festa Della Donna atau perayaan hari Perempuan.

Akhirnya saya terpilih menjadi panitia di acara perayaan hari perempuan “Festa Della Donna” yang diadakan Provinsi Bergamo pada tahun 1996. Selain sebagai panitia, saya terpilih jadi pembicara mewakili donne stranieri (perempuan asing). Itulah pertama kalinya seumur hidup saya mengikuti Festa Della Donna karena di Indonesia kegiatan ini masih dilarang oleh rezim Soeharto.

Ini juga menjadi kali pertama saya berbicara di hadapan ratusan perempuan di Psrovinsi Bergamo, di sebuah tempat yg sangat megah di Teater Donnizetti, teater kebanggaan Bergamo. Ini juga pertama kali bagi saya masuk gedung teater, maklum saya datang dari desa.

Pada kesempatan itu, setiap pembicara hanya diberi jatah waktu 10 menit, saya memperkenalkan diri nama, dari negara mana dan bagaimana keadaan perempuan di Indonesia.

Saya bercerita tentang lomba pidato di hari Kartini, ketika saya menangis karena tidak boleh tampil padahal saya juara pertama dan tentang budaya kain kebaya bagi para perempuan di Indonesia.

Rasa diperlakukan tidak adil dan tangis saya yang tumpah karena merasa teraniaya di hari Kartini satu dekade yang lalu, saya sampaikan dalam pidato hari itu bahwa perempuan harus dihargai prestasinya, talenta dan buah pikirannya, meski tidak memiliki busana sesuai dengan kriteria, karena latar belakang ekonominya.

Usai pidato di teater Bergamo, saya dengar tepuk tangan bergemuruh. Saya turun panggung, hadirin menyalami saya, meminta nomor kontak, mengajak foto bersama bahkan jadi pembicara pembicara lagi di tingkat Comune (Kotamadya) Bergamo.

Undangan menjadi pembicara dan pidato datang dari berbagai kotamadya satu propinsi, tentu saja sekarang saya juga dapat honor. Tak sampai disitu, guru-guru di sekolah pun meminta saya untuk datang ke sekolah dari tingkat SD sampai SMA, untuk berbicara dan tentu saja dengan honor.

Teman-teman sesama perempuan di Bergamo kemudian sepakat mendirikan Associazione Donne Stranieri (Asosiasi Perempuan Asing) di Bergamo. Anggotanya ratusan dan dari berbagai negara seperti Argentina, Jerman, UK, Prancis, Spanyol, Bolivia, Ukraina, Albania, Senegal dan sebagainya.

Kegiatan kami antara lain mengadakan kursus dan pendampingan para perempuan imigran. Kami juga mempunyai “daycare” atau penitipan untuk balita. Kamipun menerbitkan buku resep masakan internasional.

Pada tahun 1996, saya mendapatkan undangan untuk mengkuti seminar tingkat nasional di Torino yaitu “Portiamo a casa convegno della Donna Internazionale di Pechino “ (Mari kita bawa konferensi perempuan internasional dunia di Beijing ke rumah)”.

Hadir sebagai pembicara seorang delegasi Italia yang baru saja menghadiri konferensi di Beijing tersebut. Setelah itu saya juga diundang hadir oleh Universitas di Bonn Jerman untuk studi banding menganai pendidikan antarbudaya untuk anak dan remaja imigran.

Kisah pidato dan kisah pilu yang menyertai saya tersebut menjadi pematik semangat saya untuk maju. Saya ikut berbagai kursus dan seminar baik tingkat Provinsi Bergamo maupun Lombardia dan mendapat berbagai beasiswa untuk pelatihan baik itu di Bergamo dan di berbagai provinsi di Region Lombardia
Salah satunya kursus menjadi pengusaha bagi orang asing yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang Kota Milan selama 6 bulan dan pelatihan selama satu tahun mengenai pemberdayaan Perempuan yang diselenggarakan di Kota Roma.

Berbekal kepedihan masa lalu, saya ingin membebaskan perempuan dari rasa ketidakberdayaannya. Kaum perempuan harus dapat menghargai sesamanya dari keinginannya untuk belajar dan maju, bukan dari kemampuannya membeli dan mengenakan busana tertentu.

Penulis: Tatik Mulyani
Editor: Rieska Wulandari

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X