RI3SKA.COM – Pertama kali saya tahu ada hari yang disebut “Women’s Day” atau di Italia di kenal dengan sebutan “Festa della Donna” atau “Hari Perempuan” ketika saya mengikuti suami tugas ke Firenze, saya ingat waktu itu tanggal 8 Maret 1996.

Pagi itu, usai sarapan, saya menghadap bagian penerima tamu untuk menyerahkan kunci kamar, setelah serah terima, ia juga memberikan serangkaian bunga “mimosa” berwarna kuning cerah dilengkapi setangkai bunga mawar di bagian tengahnya, sungguh indah, sambil mengatakan “Auguri per la Festa della Donna” (Selamat merayakan hari perempuan).

Saya pun bengong, meski dengan rasa bingung saya masih sempat mengucapkan terima kasih. Baru kali ini mendengar istilah “Festa della Donna”.
Saya kemudian bertanya pada suami apa artinya, dia menjawab sambil tersenyum: “Artinya nanti pulang kantor, aku harus membawakan kamu kembang dan kita makan di luar, kita cari tempat atau restoran yang romantis,” ujarnya.

Tidak puas dengan jawaban suami, saat saya pulang kembali ke Bergamo dan waktu itu masih mengikuti kursus bahasa dan kebudayaan Italia di Universitas di Bergamo, saya sempatkan menanyakan hal tersebut pada Ibu dosen yang mengajar pagi itu.

Sekarang malah giliran Ibu dosen yang terheran-heran atas pertanyaan saya. “Apakah di Indonesia tidak ada perayaan ‘Festa Della Donne’ ?” Saya jawab dengan jujur, “tidak”.

Menjawab pertanyaan saya, dosen kemudian menjelaskan latar belakang Festa della Donna” yang lahir dari sejarah yang panjang. Intinya tentang perjuangan buruh perempuan di New York yang melakukan gerakan untuk meminta hak-haknya dan mengajukan kenaikan gaji serta perbaikan kondisi pekerjaan agar lebih layak. Kondisi kerja bagi perempuan saat itu memang mengenaskan.

Gerakan ini awalnya bernama “National Women’s Day” yang digalang oleh Partai sosialis di Amerika Serikat pada 28 Februari 1909 dimana ribuan wanita terlibat dalam gerakan memprotes situasi dan lingkungan kerja yang buruk. Gerakan ini menjalar ke Eropa dan dengan tema yang sama, pada 19 Maret 1911 kegiatan ini juga dilaksanakan secara serentak di Jerman, Swiss, Austria dan Denmark. Kegiatan ini juga mulai dilaksanakan di Russia pada tahun 1914.

Pada masa itu, banyak pabrik yang tidak memperdulikan standar kenyamanan dan keselamatan kerja. Salah satu pabrik yang desebut-sebut memiliki legenda berkaitan dengan sejarah kelam buruknya lingkungan kerja ini adalah sebuah pabrik bernama “Cotton” di New York, dimana peristiwa kebakaran pernah terjadi pada 8 Maret 1857. Kabarnya, pemiliknya sengaja mengurung para pekerja agar tidak mengambil bagian dalam pemogokan.

Namun dalam insiden tersebut, kemudian api menyala dan kebakaran besar terjadi, namun para pekerja ini tidak bisa melarikan diri karena pintu dikunci dengan sengaja. Dalam kejadian ini pun banyak korban tewas.

Konon di dekat pabrik tersebut banyak pohon mimosa yang tumbuh dan itulah mengapa mimosa dinyatakan sebagai bunga resmi untuk memperingati kejadian ini dan tragedi ini telah menyulut kemarahan publik dan menggelinding menjadi bola salju yang terus membesar.

Selain itu, tragedi berkaitan dengan dunia kerja juga terjadi di Triangle Shirtwaits Factory yang terletak di Greenwich Village, Manhattan New York City. Pabrik tersebut menempati lantai 8,9 dan 10 Gedung Asch, di 23-29 Washington Place, dekat Washington Square Park dan pada 25 Maret 1911 gedung tersebut terbakar yang menyebabkan 146 pekerja garmen dimana 123 diantaranya perempuan dan 23 laki-laki meninggal karena terbakar, menghirup asap panas atau jatuh saat melompat dari gedung.

Sebagian besar korban adalah perempuan dan gadis imigran dari Italia dan Yahudi dengan rentang usia 14-23 tahun. Para buruh malang itu tidak dapat menyelamatkan diri saat kebakaran terjadi sebab pemilik selalu mengunci pintu sebagai upaya mengantisipasi aksi pencurian oleh karyawan.

Kejadian ini dicatat sebagai salah satu tragedi kecelakaan kerja terburuk sepanjang sejarah. Setidaknya 100.000 orang berpartisipasi dalam upacara pemakaman para korban. Pemilik perusahaan kemudian dipidana tapi setelah bebas, kembali membangun pabrik dan terindikasi kembali melakukan kesalahan fatal yang sama untuk mencari keuntungan dari jaminan asuransi.

Gedung tersebut kini dikenal sebagai Gedung Brown yang merupakan bagian dari New York University (NYU) dan telah ditetapkan sebagai National Historic Landmark dan New York City landmark.
Pada 16 Desember tahun 1977 PBB menetapkan 8 Maret sebagai sebagai “Hari PBB untuk Hak Perempuan dan Perdamaian Internasional” dimana seluruh dunia pada hari tersebut diajak untuk menerapkan hak-hak kerja bagi perempuan dan pencapaian perdamaian dunia.

Hari Ibu di Indonesia
Dan bagaimana dengan di Indonesia? Dalam buku sejarah Organisasi Perempuan Indonesia tahun 1928 – 1958, seorang perempuan bernama Soeyatin mempunyai gagasan untuk pertama kalinya atas terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali.

Kongres Perempuan Indonesia diadakan di kota Yogyakarta pada tgl 22 – 25 Desember 1928 dan diikuti lebih kurang 600 perempuan yang mewakili 30 organisasi wanita yang datang dari 12 kota diantaranya Taman Siswa, Wanita Utomo, Yong Islamieten Bond Dam Afdelling, Yong Jawa, Wanita Katolik, Aisisyah dan Putri Indonesia.

Tujuan utama dari kongres perempuan adalah untuk memajukan perempuan Indonesia. Hasil dari pertemuan ini adalah tebentuknya organisasi PPI (Perserikatan Perempuan Indonesia).

Ada 3 tuntutan Perserikatan Perempuan Indonesia kepada pemerintah Belanda yaitu:
1. Memberikan beasiswa kepada perempuan Indonesia yang tidak mampu.
2. Meningkatkan pendidikan.
3. Mencegah perkawinan din.

Selain itu tuntutan lainnya yaitu pemberian uang pensiun untuk para janda tentara yang gugur selama masa perjuangan.
Tuga puluh satu tahun kemudian, Presiden Soekarno, menetapkan dalam sidang MPRS, bahwa untuk mengenang Kongres Perempuan Indonesia ke 1, maka pada 22 Desember 1959 ditetapkan sebagai hari ibu (bukan hari Perempuan Indonesia).

Argumen penggantian nama Hari Perempuan Indonesia menjadi Hari Ibu karena untuk memberikan kehormatan bahwa para ibu-ibu pada tgl 22 Desember dibebaskan dari tugas-tugas domestik.

Pertanyaan saya, keputusan ini kok terdengar ironis, perempuan boleh bebas dari tugas domestik, tapi mengapa tidak di jadikan sebagai ‘Hari Perempuan Indonesia”? Jika kita renungkan lagi, apakah 600 perempuan Indonesia yg mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta kala itu, semua sudah menjadi ibu? Ketika saya mencoba menggali dengan logika, Kongres Perempuan diadakan setelah Sumpah Pemuda tahun 1928, yang mana logikanya perempuan-perempuan yang ikut kongres masih muda atau disebut pemudi, meski tentu saja ada juga kaum ibu.

Seolah ada semacam ketakutan dan kekhawatiran kalau perempuan melepas tugas domestik lalu lupa pada kiprahnya dalam peran keluarga? Di dunia nyata dan modern saat ini, yang saya lihat di sekeliling saya, para Ibu tetap mampu berperan ganda dengan tugas domestik dan tugas profesional mereka di kantor.

Sebagian dari mereka, ada yang bisa membayar asisten rumah tangga, yang tidak, ya jungkir balik mendedikasikan diri untuk keluarga, mengatur supaya tugas-tugas itu tidak terbengkalai. Perempuan bukanlah makhluk sempurna, tapi mereka berusaha sekuat tenaga dengan keringat dan cucuran air mata.

Dengan demikian, maka rasanya tidaklah adil kalau tanggal 22 Desember hanya kita peringati sebagai hari Ibu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi kata “ibu” adalah wanita yang telah melahirkan, wanita yang telah bersuami, panggilan kepada seseorang yang telah bersuami (ataupun belum).

Jika prinsip dasar hari Ibu adalah untuk melindungi perempuan dari lingkungan kerja yang kasar dan penuh pelecehan (abusif), kita tahu persis, tidak semua pekerja perempuan statusnya “ibu-ibu”.
Argumen lainnya adalah memperjuangkan hak perempuan dalam perkawinan, melawan perkawinan dini, poligami dan pendidikan perempuan.

Nah, ini kan perlindungan yang seharusnya diberikan kepada semua kaum perempuan baik yang sudah menikah maupun yang masih lajang sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Lalu bagaimana dengan perempuan yang punya anak tapi memutuskan untuk tidak menikah? Mereka kan berhak juga memiliki hidup layak.

Jadi nama Hari Ibu untuk tanggal 22 Desember itu, menurut saya kontradiktif sekali, tidak mewakili antara penamaan dan esensi makna perayaannya. Hemat saya, sebaiknya Hari Ibu diganti menjadi “Hari Komitmen Nasional untuk Perlindungan pada Perempuan dan Perdamaian Nasional”.
Bagaimana?

*Penulis telah 25 tahun mukim di Bergamo, Italia dan aktif dalam organisasi yang bergerak pada perlindungan perempuan dan kaum imigran.


Penulis: Tatik Mulyani
Editor: Rieska Wulandari

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X