RI3SKA.COM – Dalam pingitan dan isolasi yang merupakan adat jawa bagi perempuan sebelum akhirnya menikah, Kartini mencoba memenuhi dahaganya untuk mencari pengetahuan dan menimba ilmu dan dengan tekad bulatnya, Ia tetap menulis dan membaca. Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Saparinah Sadli penulis buku “Kartini Pribadi Mandiri” mengatakan bahwa Kartini bukan hanya wartawati pertama tapi juga antropolog pertama Indonesia selain itu menurutnya, pembeda Kartini dengan pahlawan yang lain adalah:”IA MENINGGALKAN TULISAN”.

Bagaimana Kartini bisa menulis dan mengapa tulisannya memberikan efek yang luar biasa pada lahirnya sebuah negara bernama Indonesia, mari kita kembali melakukan napak tilas pada masa lalunya. Raden Adjeng Kartini lahir pada 21 April 1879, di Jepara. Saat itu kota ini masih dalam pendudukan Hindia Belanda, Hidup di masa kolonialisme, Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.

Ibunda Kartini, bernama M.A. Ngasirah, seorang putri dari pasangan Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Sementara, dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI, Garis keturunan ayah Kartini, yaitu Bupati Ario Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.

Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.

Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung beliau Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang telah diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
Itulah mengapa ada istilah Istri pertama tapi bukan istri utama.

Sebab Istri pertama Ibunda Kartini memang dinikahi pertama oleh sang ayah Kartini. Tetapi, demi menaikkan jabatan, ayah Kartini perlu menikahi perempuan dari trah lebih tinggi dan istri ini kemudian disebut sebagai istri utama, karena menaikkan derajat keluarga. Dari perspektif ini, laki-laki tetap membutuhkan perempuan bahkan untuk naik pangkat.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang memiliki talenta dan kecerdasan dalam bidang bahasa.

Ia hanya bisa mengenyam pendidikan hingga usia 12 tahun, yaitu di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena harus menjalani masa pingitan atau masa isolasi.
Kemampuannya berbahasa Belanda dimanfaatkannya dengan maksimal.

Ia berkomunikasi melalui surat dengan istri dari Menteri Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya dengan mengarahkan buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang bisa dibaca oleh Kartini.

Dari bacaan tersebut Kartini tertarik dan mendapat Ide tentang kemajuan berpikir kaum perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Selain masukan dari Ibu Menteri, Kartini juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief . Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Kartini pernah membuat iklan pengumuman mencari sahabat pena di majalah Belanda tersebut dan kemudian mendapat sambutan dari seorang tokoh pergerakan feminisme di Belanda, Estelle “Stella” Zeehandelaar.

Dari surat-suratnya kepada Stella tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum.

Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli dan banyak buku lainnya.

Sebagai anak perempuan, ia sangat memperhatikan sekelilingnya dan menuliskannya dalam buku catatan atau surat, salah satunya laporannya tentang Adat Upacara Pernikahan Keluarga Arab yang ditulis dalam Pernikahan itu di Koja, menarik perhatian karena ditulis dengan gaya jurnalistik dan memiliki perspektif sosiologi dan kebudayaan yang kuat. Dalam tulisan-tulisannya Kartini tampak memahami ketidakberesan d Jawa. Soal kelaparan, gagal panen, banjir, karena salah urus irigasi.

Kartini mendapatkan beasiswa ke luar negeri, namun gagal berangkat dan digantikan oleh siswa dari Padang. Kegagalan ini menjadi sumber kekecewaan yang berat bagi Kartini hingga ia sakit. Seolah jatuh tertimpa tangga, oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.

Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Ia berhasil melahirkan Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal dalam usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Sayangnya, Ia meninggal di Rembang, Hindia Belanda, 17 September 1904 pada umur 25 tahun, beberapa hari setelah melahirkan, Ia mengeluh sakit perut. Beberapa pihak mencoba untuk mencari tahu apakah Kartini meninggal karena sebab natural atau karena ada yang meracuninya, namun keluarga menolak ide tersebut dan memilih menerima tragedi ini sebagai perjalanan lumrah manusia.

Sosok yang disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Pribumi-Nusantara, tulisan dan pikirannya mendorong anak muda di masanya untuk menolak penjajahan dan mengilhami W.R Supratman untuk menciptakan lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Kondisi Kartini satu abad lalu, tak dinyana, relevan dengan kondisi saat ini dimana wabah Covid-19 membuat kita berada dalam kondisi yang secara fisik terisolasi, tapi jangan sampai tembok menghalangi semangat belajar dan menaklukkan rasa keingintahan kita. Kartini tidak memiliki gawai dan kuota internet untuk bisa melihat dunia luar, tapi buku, tulisan dan surat menyurat, membentuknya menjadi pribadi yang matang dan memberi pencrahan pada banyak orang. Mari kita manfaatkan situasi ini sebaik-baiknya, untuk memperluas dan memperdalam pengehatuan kita, meski tubuh kita “terpenjara” kedalaman berpikir dan ketajaman tulisan kita, jangan habis ditelan nestapa.

Sumber :
Wikipedia, Panggil Aku Kartini Saja – Pramoedya Ananta Toer, Liputan Khusus Kartini – Majalah Tempo.

Penulis: Rieska Wulandari
Editor: Claudia Magany

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X