RI3SKA.COM – Tadi pagi ketika saya sedang bersepeda, ada seorang ibu yang bertanya. Mengapa sendiri Bu? Kok tidak ada temannya?

Pertanyaan semacam ini terjadi berulang-ulang, ketika saya ke dokter, ketika saya ke laboratorium untuk ambil hasil tes pemeriksaan, ketika saya di ruang tunggu stasiun kereta api, bahkan ke salon.

Pertanyaan ini sangat aneh terdengar di telinga saya, dan kadang membuat saya tidak nyaman.
Apa salahnya sih saya bersepedaan sendiri atau berpergian naik kereta seorang diri?

Bahkan di negara Arab Saudi sekarang perempuan boleh menyetir sendiri.

Mengapa di Indonesia ketika seseorang bermobilitas sendirian malah menjadi pertanyaan?

Ketika pertama kali menginjakan kaki ke Italia, beberapa bulan kemudian saya harus mengikuti kursus bahasa Italia di Universitas Bergamo.

Dari rumah, saya harus naik kereta lalu sampai Bergamo berganti bus untuk sampai Universitas yang letaknya di Citta Alta ( Bergamo Atas), karena Bergamo adalah kota yang unik, ada bagian bawah dan bagian atas.

Beruntunglah saya, karena almarhum suami mendorong saya untuk bisa mandiri.

Sebelum melepaskan saya untuk melakukan aktivitas sendiri, di hari Minggu dia menyempatkan diri mengajari saya bagaimana dan dimana bisa membeli tiket kereta dan bus, kemudian melakukan simulasi dengan mengajak saya untuk naik kereta api dan saat sampai di pusat kota ia menunjukkan lokasi halte bus menuju ke Universitas.

Maka pada hari Senin ketika saya mulai kursus, saya sudah “dilepas” sendiri, padahal saya belum bisa berbahasa Italia.

Tetapi di sini saya belajar meskipun di negeri orang dan belum tahu bahasa setempat, saya tidak mungkin menggantungkan urusan-urusan saya kepada suami.

Setelah itu saya jadi punya keberanian untuk bepergiaan sendiri, dan di sisi lain saya belajar mandiri dan melakukan segala sesuatu atau mengambil keputusan sebisa mungkin tanpa bantuan suami.

Kebetulan almarhum suami saya dalam pekerjaan kerap mendapat penugasan ke luar negeri. Jadi saya mempunyai kesempatan untuk menjenguk dia di negara dimana dia ditugaskan.

Biasanya suami berangkat lebih dahulu dan saya menyusul menyesuaikan kondisi dan kesibukan saya, antara lain kursus bahasa dan sebagainya.

Pengalaman bepergiaan sendiri bagi saya sangat menyenangkan dan berkesan sekali, dan banyak pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil ketika kita bepergian.

Ketika suami bertugas di Washington DC dan masih harus ke kantor, saya bisa mandiri dan mencari restoran yang menyajikan makanan Asia, misalnya mampir ke restoran Jepang, Thailand dan Cina.

Kebetulan, tidak jauh dari hotel tempat kami menginap, ada restoran yang menyajikan makanan Jepang dan beberapa kali saya datang untuk makan siang.

Tempatnya cantik, mungil dan makanannya enak. Sampai suatu hari saya bicara dengan kasir untuk membayar.

Petugas kasir saya perhatikan, memiliki profil perempuan Jepang dengan kulit terang, wajah ayu dan sambil tersenyum ramah berkata: “Mbak dari Jawa ya?”

Saya langsung menjawab: “What?” Sang kasir berkata: “Bahasa Inggris Mbak medok sekali”. Sesaat kemudian, kami larut bersama dalam tawa.

Rupanya sang kasir itu pemilik restoran dan asli dari Jakarta. Dia bahkan memberi saya voucher makan untuk hari berikutnya.

Inilah alasan mengapa saya menikmati waktu bepergiaan seorang diri, saya bebas menentukan program harian, menikmati kota dan memilih lokasi yang ingin kita datangi, nikmati dan resapi.

Dari Washington DC saya belajar mengambil Metro (kereta MRT) sampai Arlington Cemetery, saya melihat kuburan para veteran Vietnam yang berjejer rapi dan megah.

Pengalaman saya ketika di Bursa Turki, sangat seru karena dari hotel saya beranikan diri naik taksi kolektif dengan ibu-ibu lokal yang hendak ke pusat kota.

Dari perkenalan di dalam taxi, saya mendapatkan informasi sebuah warung kecil di tengah kota Bursa.

Pemiliknya seorang perempuan berusia paruh baya, mengenakan abaya tradisional dari kepala sampai kaki berwarna hitam.

Tetapi dengan ketulusan dan keramah-tamahan yg hangat beliau menyambut saya, dengan berbekal bahasa tarzan kami berkomunikasi.

Sengaja saya bawa kamus kecil dan daily conversation dalam bahasa Turki jadinya hampir tiga bulan saya berlangganan di warungnya.

Saya senang teh rasa mint ala Turki, terong dan tomat yang dimasak dengan cara dipanggang dan daging cincang dibungkus daun anggur plus ada nasi putih.

Pada suatu hari kami di undang ke rumahnya. Dan ketika saya pulang ke Italia, kami berpelukan erat dan saya pun sempat meneteskan airmata.

Kami berdua tidak tahu bahasa masing-masing tetapi kami bisa berkomunikasi dan saling mengerti.

Di Winterwijk sebuah kota kecil di Belanda, ketika saya sedang berjalan-jalan sendirian, “celingak-celinguk” mencari toko Indonesia, saya berjumpa Ibu Suprapti yang tak hanya dengan ramah menunjukkan jalan ke arah toko tersebut, malah saya ditemani belanja dan diundang kerumahnya untuk makan siang , padahal kami baru berkenalan.

Beliau tinggal berdua dengan suami yang sudah lanjut usia, anak-anaknya sudah menikah dan pindah ke luar kota. Kami bercengkerama sampai sore.

Saya mendengarkan kisah beliau ketika dulu naik kapal berbulan bulan untuk tiba di Belanda dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sebagai imigran, sampai akhirnya suami dapat pekerjaan dan sekarang tinggal menikmati hari tuanya.

Begitu rindunya mereka mengenang masa2 kecil dan remaja di kota Magelang, kadang air matanya mengambang saya melihat ada selaput kesedihan di sana. Sebuah momen mengharukan yang saya dapatkan saat saya melakukan perjalanan seorang diri.

Itulah mengapa saya sangat heran dan jengah dengan pertanyaan yang sepele sebenarnya: “Mengapa sendirian Bu?”
Bukankah pengalaman-pengalaman yang saya uraikan di atas bisa terjadi karena saya bepergian sendiri?

Kalau ada suami di samping, saya yakin pengalaman saya tidak akan sekaya ini. Saya bisa berinteraksi dengan bebas dengan kenalan-kenalan baru justru karena melakukan perjalanan sendirian,

Orang Barat cenderung tidak begitu mudah berinteraksi dengan orang baru, sebaliknya saya, sebagai orang Indonesia secara naluriah lebih ramah dan luwes ketika bertemu dengan orang baru.

Dengan suami, kadang kami berbeda pendapat ke tempat mana kami harus kunjungi.
Saya senang melihat pasar tradisionil, suami sama sekali tidak tertarik.

Misalnya, soal tempat makan pun kami beda selera, di negara manapun entah itu negara antah berantah suami pasti mencari Restoran Italia dan saya lebih memilih makanan Asia.

Dengan bepergian sendiri, melatih dan membuat saya menjadi perempuan yang mandiri, berani mengambil keputusan dan mempunyai kesempatan untuk belajar hal-hal baru misalnya bahasa lokal , makanan lokal bahkan bisa mengamati adat istiadat setempat.

Apakah bepergiaan sendiri selalu aman? Selama ini saya tidak pernah mengalami hal-hal yang tidak nyaman kecuali kecopetan.

Saya pernah ke copetan di metro di Milan ketika sedang bepergian ke Firenze. Kejadian kedua adalah kecopetan di Madrid ketika sedang makan di restoran.

Tetapi saya rasa turis yang bepergian dalam rombongan pun punya resiko yg sama untuk kecopetan.

Jadi tolong, jangan bertanya lagi ya, mengapa seorang sendirian bepergian sendiri.

Ohya, Anda juga bisa membangun pengalaman pribadi dengan melakukan perjalanan sendiri.

Bisa dimulai dari hal-hal kecil misalnya naik sepeda. Mengapa harus nunggu hari Minggu pas suami libur, apalagi sampai harus menunggu pesenan kaos atau pakai baju yang seragam dengan suami?

ini sungguh-sungguh saya alami kalau hari Minggu banyak ibu-ibu berseragam hanya untuk bersepeda.

Beranilah tampil beda, kalian itu pribadi yang unik, tidak harus seragam.

Selamat berpergian dan menikmati pengalaman baru!

Penulis: Tatik Mulyani
Editor: Rieska Wulandari

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X