RI3SKA.COM – Salah satu teman Bucin pernah bercanda apa profesinya, dia jawab dengan ironis: “istri bule”. Bucin pun ikut tertawa dan konon katanya tertawa yang sehat adalah ketika kamu bisa mentertawakan dirimu sendiri.

Setelah itu Bucin mencoba mencari apa artinya istilah bule, dari Wipedia Bucin mendapatkan, bule adalah kata slang yang di gunakan di Indonesia untuk para keturunan Eropa atau orang yang berkulit putih.

Dan bule (dibaca bu-le), berasal dari kata “boulevard”, orang-orang Eropa, dahulu pada jaman kolonial tinggal di “boulevard”, jadi sebutan bule itu merujuk pada “orang Eropa yang mukim di boulevard di Indonesia”.

Pada saat Bucin masih sekolah SMA, Bucin mulai membaca salah satu karyanya NH. Dini. Bukunya sangat terkenal berjudul “Pada Sebuah Kapal”. Nh. Dini sang penulis, adalah salah satu “istri bule” yang Bucin kagumi, karena suaminya adalah seorang diplomat dari Perancis.

Nh. Dini sendiri mantan pramugari Garuda yang sempat ikut terbang pada pesawat kepresidenan eranya presiden RI 1, yaitu Bung Karno. Bucin benar-benar kagum padanya, selain penulis, istri diplomat, fasih berbahasa Perancis dan Inggris, mohon maklum, tahun 70-an sangat sedikit yang bisa berbahasa asing dan beliau juga pandai menari Jawa!

Sayang pada usia senjanya sampai meninggal dia hidup sederhana setelah bercerai dengan suaminya yang ditulisnya sebagai: tukang selingkuh dan pelit (ini Bucin baca di bukunya Dari Rue Saint Simon ke jalan Lembang).

Perjalanan NH. Dini mengikuti sang suami, dari Saigon, Tokyo, Vietnam, Philipina, pulang ke Perancis, sangat memukau Bucin, bagaimana dia memasak dan meyiapkan jamuan resmi di rumah dinasnya di Saigon dengan keterbatasan bumbu-bumbu Indonesia yang ada, bagaimana piawainya dia sebagai nyonya diplomat menyambut tamu-tamu sekelas duta besar dan tamu kelas VIP lainnya.

Perkenalan Bucin pada almarhum suami yg berasal dari Italia, ketika Bucin bekerja sebagai Guest Relation Officer di sebuah hotel berbintang di kota Semarang. Saat itu salah satu tamu datang ke meja Bucin dengan tergopoh-gopoh dan berwajah sedih, meminta Bucin untuk memboking tiket dari Semarang – Jakarta- Milan untuk sore nanti. Untunglah Bucin bisa mendapatkan tiket penerbangan ke Italia segera pada malam itu.

Tamu tersebut Bucin tawari minum di coffeshop, Bucin temani sebentar dari raut wajahnya keihatan ada sesuatu yang sangat meresahkan, akhirnya dia bercerita kalau dia baru saja dapat kabar dari tanah airnya bahwa ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung.

Singkat cerita dua pekan kemudian, dia hadir kembali dan mencari keberadaan Bucin untuk memberi sekedar oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih, karena Bucin sudah membantunya mendapatkan tiket saat ia harus pulang ke negaranya.
Kata orang Jawa “tresno jalaran soko kulino”, dari oleh-oleh coklat dari Italia, akhirnya tiap sore ada yang singgah di meja Bucin hanya sekedar untuk bersapa. Dan satu tahun kemudian kami menikah dan Bucin di boyong ke Italia.

Dan Bucin pun secara de facto bergelar “istri bule”.
Pada masa itu, menjadi istri bule kadang masih mendapatkan konotasi yang tidak elok meski di sisi lain Bucin tahu diam-diam banyak perempuan yang memiliki keinginan terpendam, untuk bersuamikan orang bule.

Sangat berbeda dengan keadaan saat ini , perempuan-perempuan milenial ketika bersuamikan bule seakan-akan merasa esklusif, mereka berlomba-lomba membuat vlog yang isinya dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Mulai dari slip gaji suami sampai dapat warisan apa dari mertua, terus bikin house tour sampai belanja ke supermarket. Semua harus dipublikasikan kepada umum, tidak bisa lagi membedakan yang mana privasi dan yang mana untuk umum.

Sebetulnya, yang membuat Bucin sangat tidak setuju adalah argumen alasan yang disampaikan adalah untuk memotivasi. Motivasi macam apakah kalau tidak dijabarkan bagaimana awalnya, prosesnya dan hasil akhirnya?
Bagi Bucin pribadi rasanya sangat tidak adil, kalau youtuber yang para istri bule ini, membicarakan apartemennya, mobilnya, bahkan kitchen set di rumahnya atau hanya sekedar harga rendang di Belanda dan terus berapa kalau di kurs dengan rupiah .

Tentu saja tidak adil bukan, harga 1 kg rendang di Belanda katanya €30/kg yang notabene hampir Rp.500.000 kalau kita pakai nilai tukar 1€=Rp.17.000.
Maka setelah tayangan daging rendang Eropa, ramailah Ibu-ibu di Indonesia bertanya-tanya atau lebih tepatnya “gumun” dan kemudian sibuk menghitung kalau beli rendang Rp.500.000 berapa gajinya dan sebagainya dan sibuk membadingkan dengan penghasilan rata-rata suaminya sendiri yang mungkin hanya bisa membeli 10 kg rendang jika tinggal di Eropa. Sebuah cara berpikir yang miris sekali.

Dari tayangan model ini, Bucin yakin pemirsa dari Indonesia akan berkayal sambil rebahan, ah..seandainya Bucin seperti mereka dan seterusnya.
Jeratan imajinasi ini, kemudian membawa mereka kepada kegeisahan. Hidup berkeluarga dan berumah tangga yang harusnya tentram, tenang, damai dan bahagia, terganggu karena benak mereka sibuk membandingkan dengan gaya hidup istri bule.

Eh, kembali ke pengalaman Bucin pribad sebagai istri bule, pernah ketika Bucin sedang makan di restaurant Legian di Yogya, sang pelayan bertanya.
“Mbak, bulenya darimana itu?” Oh..Bucin jawab dari Italia. Bucin jengah sekali buat telinga Bucin konotasi bule tadi membuat Bucin tidak nyaman.

Ada juga yang julid ketika sampai di Italia, ada salah satu teman wanita nya yg berkata : Wah..kamu beruntung ya dapat suami dari Italia. Tetapi suami Bucin langsung menjawab : “oh bukan dia yang beruntung tapi saya, bayangkan, dia itu bekerja di hotel berbintang dan rela meninggalkan keluarga dan negaranya demi saya,” ujar suami Bucin. Aih, mendengar jawaban suami tersebut Bucin tersenyum serasa di awang-awang.
Sebaliknya, ketika kami berlibur ke Jerman atau Perancis, Bucin selalu mendapatkan perlakuan yang menyenangkan dari pemilik hotel atau restaurant yg kami kunjungi.

Di sebuah desa kecil di Chamonix, Bucin mendapatkan kembang segar karena ternyata istri pemilik hotel asli Italia dan bertahun-tahun tinggal di Perancis begitu ketemu Bucin dia selalu mengajak untuk berbahasa Italia.

Dan yang paling membuat Bucin bahagia, adalah ketika mendapatkan ekstra satu scopp gelato ketika kami berada di Jerman atau ketika ke Prancis, hanya karena Bucin menyapa mereka dengan bahasa Italia. Rata-rata pemilik gelateria (toko es krim) di Jerman, Prancis adalah immigran dari Italia, mereka tidak menyangka kalau Bucin yang memiliki fisik perempuan Oriental bisa berbahasa Italia.

Orang Italia menurut Bucin mirip karakternya dengan orang Jawa, antara lain ketika di rantau senang kalau ketemu dengan sesama asli daerahnya.
Ketika di Indonesia Bucin belum pernah menghadiri berbagai undangan dari komunitas istri-istri bule, baik yang tinggal di Semarang atau di Yogya tapi Bucin merasa kurang sreg, karena Bucin tidak merasa nyaman dengan pertemuan-pertemuan yang gayanya sangat esklusif dan biasanya di adakan di sebuah hotel berbintang.

Bucin lebih senang bertemu dengan privat, dan tidak harus di hotel berbintang, bisa misalnya di warung sambil makan gudeg kalau di Yogya atau menurut Bucin lebih seru ketemuan di lesehan simpang lima Semarang sambil makan pecel.

Begitu pula ketika di Italia, Bucin mempunyai teman yang sama-sama dari Indonesia hanya sedikit bisa dihitung dengan sepuluh jari. Tetapi Bucin lebih memilih pertemanan yg berkualitas, bukan kuantitas. Dan meskipun sama-sama dari satu negara bukan berarti kita mempunyai misi dan visi yg sama, sehingga Bucin lebih membuka pertemanan dengan siapa saja lepas dari negara mana asalnya.

Penulis: Bucin
Editor : Tim Bucin.

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X