RI3SKA.COM – Bucin masih teringat meski samar-samar, ketika masih Sekolah Dasar kelas tiga pulang sekolah mendapati Ibu di rumah, sedang menangis dengan kedua tangan yang sibuk menggendong dua adik Bucin yang masih kecil.

“Ayo ikut,” kata Ibu kepada Budin, saat itu dengan pikiran yang masih bingung, Bucin mengikuti perintah Ibu. Ternyata kami mampir ke kios milik teman Ibu dan di sana Ibu kembali menangis, padahal Bucin sudah lapar sekali karena sudah lewat jam makan siang. Dalam tangisnya, Ibu berkata: “Saya sudah tidak tahan lagi”.

Petang hari, Ibu memutuskan untuk kembali ke rumah tapi dalam perjalanan Ibu berkata kepada Bucin: “Ibu mau pulang ke Kampung. Kamu dan adik – adikmu Ikut Ibu, Mas-mas dan Mbakmu, biar ikut Bapak,“ Bucin yang masih kecil, hanya bisa megangguk lesu.

Ketika dewasa, kejadian ini menghantui Bucin. Pulang ke Kampung, artinya yang dihadapi Ibu bukan masalah ekonomi karena saat itu kami anak-anak, punya baju – baju cantik penuh renda dan rimpel-rimpel pita di bagian belakang, hasil jahitan ibu. Bucin masih ingat, teman-teman di sekolah kerap kagum melihat baju hasil karya Ibu yang Bucin kenakan. Belum lagi, dengan sepatu balerina bermerek terkenal yang dibelikan ayah di toko yang hanya ada di kota besar.

Kebiasaan lainnya , Ibu menyediakan roti tawar dengan margarin dan gula pasir, sebelum Bucin berangkat ke sekolah, belum lagi para tetangga yang kerap datang ke rumah Bucin, sebelum berangkat kondangan, untuk meminjam perhiasan Ibu.

Bapak pun sering mengajak anak-anaknya termasuk Bucin, makan es krim dan makan di Restoran mahal di pusat kota.
Bagi Bucin, Ibu adalah figur sentral yang tak hanya pintar tapi juga telaten dan penuh kasih sayang. Setiap pulang sekolah selain makan siang kami suka disediakan jajanan pasar atau buah-buahan seperti duku, rambutan atau pisang. Pada sore hari di rumah selalu ada ritual minum teh dengan camilan buatan ibu seperti pisang goreng, singkong goreng, kue lemet dan sebaganya.

Ibu selalu memperhatikan kebutuhan kami termasuk siap hadir saat pembagian rapor. Bucin masih ingat ketika kelas 2 SMP, Bucin mendapatkan nilai merah pada pelajaran ilmu alam, dengan segera Ibu menghadap guru yang bersangkutan dan bertanya langsung tentang apa kendala yang Bucin dihadapi sehingga mendapatkan nilai merah.

Demikian pula ketika Bucin mengalami menstruasi pertama, Ibu memberikan semangat dan dorongan psikologi karena Bucin panik melihat ada bercak merah di pakaian Bucin, namun Ibu dengan lembut berkata: “Tenang, “Nduk”, itu pertanda kamu sudah besar”. Ibupun mengajari Bucin memakai pembalut yang tentunya tidak senyaman pembalut zaman sekarang dan Ibu juga membuatkan Bucin, jamu kunyit asem dan galian singset.

Baru setelah Bucin menikah dan hendak pindah ke Italia, Bucin berani bertanya kepada Ibu, jawaban Ibu yang masih keturunan ningrat Jawa membuat Bucin terhenyak. “Ibu kasian sama kalian, kalian waktu itu masih kecil”.

Ibu saya sejak kecil sudah menjadi anak yatim piatu diasuh oleh eyang dan kadang oleh Pakde atau Budenya. Keluarga Ibu yang termasuk kalangan terpandang dan berpendidikan, kerap kali berbicara dalam bahasa Belanda satu sama lain dan meskipin Ibui seorang anak yatim piatu, Ibu tetap berhasil lulus Sekolah Guru Besar (SGB) dan menjadi guru, namun pada akhirnya bu terpaksa melepas profesinya karena harus mengasuh anak-anaknya sendiri.

Bucin memahami penjelasan Ibu yang mencerminkan jawaban bersayap khasnya orang Jawa dan hal ini tentu saja membuat dalam hati Bucin sedih dan perih rasanya. Meski secara prinsip perempuan Jawa apalagi ningrat itu diagungkan seperti “ratu” tapi kerap pada prakteknya sehari hari sangat “tergantung” atau tak berdaya.

Bucin tahu, situasi Ibu sangatlah tidak sepadan di hadapan Bapak, apalagi Ibu seorang anak yatim piatu, yang tidak mempunyai tempat mengadu. Secara ekonomipun Ibu juga tidak punya jangkar karena tidak bekerja.

Saat itulah Bucin menemukan ketidakadilan Ibu, pada waktu Bapak memghianatinya, dimana pada masa itu sepertinya sudah merupakan hal biasa yang terjadi dalam perkawinan. Para lelaki dengan menggunakan alasan klasik dimana agama digunakan sebagai legitimasi, maka perselingkuhan disamakan dengan praktek poligami akan tetapi yang dilakukan para suami ini sama sekali bukan azas perkawinan dalam Islam, seperti yg tertulis dalam Fiqh.

Bucin jadi ingat tulisan Dr. Irwan Abdullah dalam “Sangkan Paran Gender” yang mengatakan “ketika negara atau masyarakat sudah mempunyai lembaga seperti rumah yatim piatu, lebih baik dari poligami, maka ayat tentang poligami harus ditangguhkan sama halnya seperti penangguhan pada ayat ‘perbudakan’ dewasa ini”.

Bucin memahami, Ibu menjadi korban kultural pada saat itu. Sudah jatuh tertimpa tangga, Sudah diselingkuhi, masih harus menanggung dan menjamin nama baik keluarga dan suami, sementara kehadiran perempuan lain dianggap tidak menjadi masalah karena perceraian merupakan hal tabu yang mengarah pada ketidakharmonisan masyarakat.
Walaupun tidak bahagia, Ibu harus menjadi pihak yang mempertahankan perkawinan.

Bucin kerap bertanya, mengapa para pria dan para suami tak mampu menjaga aktivitas seksualnya dan menuntut perempuan yang harus menjaga nama baik suami dan keluarganya?
Bucin bukan penggemar sinetron, di rumah TV pun tak ada dan sampai sekarang sinetron Indonesia tetap mengangkat tema pencuri laki orang atau akrab dikenal “pelakor” yang menurut Bucin, kata “pelakor” ini tidak tepat karena seolah-olah tindakan pencurian ini hanya inisiatif perempuan.

Sang lelaki yang “tercuri” dan seolah-olah yang perempuan melakukan aksi brutal menodongkan pistol untuk mencuri si pria yang tak berdaya. Padahal, jika kita renungkan kembali, perselingkuhan itu terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak, baik laki-laki dan perempuan tersebut, sepakat menyakiti pihak istri.

Kenapa masih menggunakan kata ‘Pelakor’ seolah pihak laki+laki suci bersih dan tidak punya inisiatif sama sekali, tak berdaya oleh si perempuan. Wahai perempuan, berhentilah menyebut selingkuhan suamimu sebagai pelakor, karena sejatinya, suamimu juga sepakat menyelingkuhimu.

Pengalaman Ibu, menjadi cermin bagi Bucin meski situasinya sudah jauh berbeda. Bucin yang ditinggalkan Pakde kembali kehadirat Allah Yang Maha Kuasa sejak lima belas tahun yang lalu, suatu baru berkenalan dengan seorang duda yang terpaut usia 7 tahun dengan 2 anak bawaan.

Di saat-saat pendekatan, pria tersebut melakukan hal yang menyenangkan buat Bucin. Seringkali Bucin diajak makan malam, nonton film dan bahkan bersedia menjemput kalau Bucin pulang malam setelah menghadiri sebuah acara.
Suatu hari, Bucin diundang oleh teman dekat tersebut dan bude datang dengan seorang teman yang juga perempuan. Teman yang menemani acara minum kop ini sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang waktu itu usianya masih balita.

Kami tentu senang mendapat undangan ini dan kami pun datang berdua. Di sela-sela pertemuan, Bucin pamit ke belakang dan saat kembali, Bucin melihat teman dekat Bucin sudah duduk sangat rapat dengan teman wanita Bucin, kedua duanya “temempel” rapat sekali, padahal kita tahu dalam hal kesopanan, setidaknya ada jarak kira-kira 1 meter dengan lawan bicara.

Bucin merasa keberatan terhadap perilaku keduanya dan saat itu juga langsung angkat bicara dan protes, Bucin tidak mau pengalaman seperti Ibu terulang, dimana perempuan hanya bisa menahan dan menangis di rumah saat merasa tidak nyaman dengan pemandangan dan perlakuan yang diterimanya dari orang lain.

Bucin memutuskan untuk mengambil jarak dari teman pria Bucin dengan dengan berlibur ke Paris menemui sabahat yang tinggal di sana selama satu pekan. Bucin lebih memilih menikmati keindahan kota, taman dan sungai.

Menyempatkan mampir dan makan di restoran, menghibur diri dengan menikmati aperitivo dan tapas khas pergaulan Eropa. Tidak ada gunanya merundungi nasib, lebih baik mencari udara segar dan menikmati suasana baru di kota lain dan bertemu sahabat yang betul-betul sayang dan sekaligus membuka pertemanan dengan orang-orang baru dengan bergaul di tempat baru.

Bucin berprinsip, tetap menjadi percaya diri dalam menghadapi perlakuan yang kurang elok merupa hal penting. Perempuan harus mampu mengambil sikap. Ini bisa terjadi kalau perempuan mandiri, punya kesibukan, baik itu merupakan aktivitas sosial atau merupakan pekerjaan profesional.

Pastikan perempuan memiliki perlindungan ekonomi sehingga tidak tergantung pada laki-laki yang tak pantas. Bucin bangga bisa menjadi perempuan matang yang memiliki raya tawar tinggi di hadapan laki-laki. Satu pesan Bucin, jadilah perempuan yang memiliki tak hanya daya pikat tapi juga daya tawar yang mampu melindungi diri kita dari ketidakadilan.

Penulis: Bucin
Editor: Team Bucin

Wahai pembaca Bucin, apakah Anda pernah berselingkuh atau diselingkuhi? Atau pernahkah Anda menjalani dan mengalami keduanya? Silakan bagi dengan kami pengalaman Anda sebab “sharing is caring”.

Identitas akan dirahasiakan oleh Tim Bucin bila Anda tidak ingin diketahui publik.

Salam Berdaya dari Bucin.

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X