Drama Korea membuat generasi muda Indonesia tersadarkan betapa pentingnya, atau setidaknya betapa “cute”-nya adegan para tokoh drama Korea saat menulis pesan pendek pada gawai, dengan menggunakan karakter atau aksara lokal mereka yang disebut 한글 (Hangeul).
Adegan menulis dengan aksara lokal negara masing-masing ini sebetulnya juga ada di film Jepang, India, Mandarin, Thailand, tapi tampaknya film Korea yang berdurasi panjang dengan episode-episode maraton, membuat paparan pemirsa terhadap karakter Korea lebih intens.
Bayangkan, momen pemirsa yang gemas ketika tokoh sedang pelan pelan mengetik pesan berhuruf asing yang menentukan nasib sang tokoh pujaan.
Mata pemirsa turut membelalak meski tak paham satu huruf pun. Momen krusial itu menjadi berantakan kalau karakter hangeul yang muncul di layar kaca, tidak diterjemahkan, maka “ambyar” semua esensi tontonan marathon multi episode tersebut.
Bagus juga ada film Korea ini, setidaknya masyarakat kita menjadi sadar, betapa serunya menulis dengan karakter lokal.
Selama ini, kita sangat terbiasa menggunakan karakter latin, mungkin ada juga yang menggunakan karakter Arab dan Mandarin, tapi karakter lokal, seolah hanya “berfungsi” di lingkup lokal saja, belum mengglobal seperti halnya huruf Bangsa Jepang lalu belakangan Korea.
Tampaknya, penggunaan aksara lokal mulai ditinggalkan pada abad ke-15, Ketika aksara Arab dan Latin mulai masuk ke Nusantara.
Tapi, zaman berubah.
Belakangan, tampaknya, demam aksara lokal ini mulai kembali menggaung. Anak-anak mulai penasaran dengan huruf atau aksara lokalnya.
Sementara ini, juga terlihat kecenderungan anak muda mengirim pesan atau status dalam bahasa daerah bahkan di Tik-tok lagu berbahasa daerah bisa menjadi viral.
Sejauh ini, soal viralnya bahasa dan lagu, tampaknya aman, selama menulisnya dengan aksara latin.
Tapi sebentar, kalau mau menulis dalam huruf lokal, apa sajakah karakter lokal Indonesia? Kita menjadi bingung, bukan karena tak punya, justru karena kita punya banyak!
Saat ini terdapat 12 aksara daerah yang merupakan bagian dari kekayaan kesusastraan dan budaya Indonesia. Ke-12 aksara lokal tersebut adalah aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Berdasarkan data yang ditampilkan pada laman situs Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), tercatat ada 718 bahasa daerah di tanah air. Jumlah tersebut merupakan hasil verifikasi berdasarkan penelitian dan pemetaan bahasa daerah yang dirintis sejak 1992 hingga 2019 oleh BPPB, lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di Papua terdapat 428 bahasa daerah, tapi pada kenyataannya nyaris tidak dijumpai aksara lokal di sana. Sebuah upaya dilakukan dengan menyusun sistem aksara dengan bahasa Tobati yang digunakan oleh masyarakat di sekitar Jayapura. Pihak Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) pun ikut meluncurkan buku Sistem Aksara Bahasa Tobati pada 2016.
Proses penentuan sistem aksara ini melibatkan penutur yang menyampaikan lambang untuk sesuatu yang diungkapkan dengan bahasa Tobati. Kemudian, bahasa lisan itu ditulis dengan huruf Latin.
Negara Kita Tak Punya Landasan Hukum Soal Aksara
Tidak seperti India misalnya, Indonesia menyebutkan bahasa dalam konstitusinya yaitu bahasa Indonesia tapi tidak menyebutkan aksara apa yang digunakan.
Karena tidak menyebutkan secara hukum, aksara apa yang digunakan, maka sulit juga bagi negara kita untuk mengklaim bahwa aksara lokal tertentu sebagai aksara “nasional” kita.
Namun demikian UNESCO tetap memberikan perlindungannya pada kelestarian aksara-aksara lokal Nusantara, antara lain bekerja sama dengan kementrian Pendidikan Indonesia menyelenggarakan seminar nasional “Direktori Literasi Bahasa dan Aksara Daerah di Indonesia” yang diselenggarakan di Universitas Padjadjaran, Bandung, 16 Maret 2023 lalu.
Melakukan “standarisasi” untuk bisa diperkenalkan secara internasional melupakan tantangan tersendiri, demikian dikatakan oleh Richard Mengko, Ketua Yayasan Budaya Nusantara Digital (BND).
Yayasan yang dipimpinnya, memiliki komitmen tak hanya melestarikan tapi juga mengembangkan aksara dan budaya Indonesia terutama ke ranah digital secara berkelanjutan.
Dalam forum tersebut, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) hadir juga untuk memaparkan upaya mereka untuk melestarikan aksara Nusantara dengan cara mendigitalisasinya.
PANDI adalah organisasi nirlaba yang ditugaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), salah satunya untuk merumuskan kebijakan dan bidang pengelolaan nama domain tingkat tinggi Indonesia berkode “.id”, sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Kominfo nomor 23 tahun 2013 tentang Pengelolaan Nama Domain.
Atas kerja keras PANDI, saat ini tujuh aksara Nusantara telah digitalisasi dan terdaftar di dalam Unicode yaitu Jawa, Sunda Kuno, Bugis (lontara), Rejang, Batak, dan aksara Pegon.
Aksara Unicode adalah suatu standar teknis pengkodean internasional mengenai teks dan simbol dari sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan pada komputer, laptop, atau gawai telepon genggam. Standar yang digunakan adalah Universal Character Set.
Proses memasukkan aksara lokal nusantara dalam Unicode ini penting, karena jika sudah terdaftar pada Unicode, maka aksara Nusantara itu bisa didaftarkan ke lembaga internet dunia, yaitu Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).
Namun tidak mudah untuk mendaftarkan aksara daerah ke Unicode, karena masyarakat Indonesia sendiri jarang menggunakan aksara lokalnya. Hanya terbatas pada penamaan nama jalan atau gedung – gedung pemerintah.
Tak kurang, UNESCO turut urun membantu dengan menyiapkan sebuah laman khusus demi pelestarian aksara Nusantara yaitu denganbuat laman www.merajutindonesia.id yang bersifat terbuka sehingga seluruh kalangan khususnya pegiat aksara bisa berpartisipasi dan berkontribusi menuliskan aksara daerahnya.
PANDI juga sedang berupaya mendapatkan ISO 10646 untuk daftar aksara Nusantara. Ini sebagai acuan bagi produsen pembuat papan ketik komputer (keyboard) agar dapat menampilkan aksara Nusantara yang terdaftar dalam Unicode ke dalam perangkat keyboard.
Sebuah upaya yang luar biasa, seandainya gawai Anda telah dilengkapi aksara lokal, maukah Anda menggunakannya agar aksara lokal kita lestari?