Sebagai manusia yang “ngangkot” maka setiap akhir tahun saya selalu membeli tiket transportasi tahunan di stasiun Centrale, Milan.
Begitu sampai di loket pembelian, petugasnya memeriksa tanda pengenal saya dan berteriak:
“Indonesia? Kamu dari Indonesia?” tanyanya.
Saya agak kaget dan khawatir melakukan kesalahan, balik bertanya “Iya, saya Indonesia, kenapa, ada yang salah?”
Dia tertawa, matanya bersinar-sinar. “Akhirnya, saya temukan orang Indonesia di Milan, saya suka musik kalian, budaya, bahasa, pokoknya semua soal Indonesia,” katanya.
Lalu karena di belakang saya masih banyak klien dan calon pembeli tiket, kami akhirnya janjian untuk ketemu ngopi sekalian saya wawancara.
Ettore namanya, dia mengoleksi piringan hitam tua, album-album musik paling langka yang pernah dibuat di Indonesia.
“Saya berburu piringan hitam Indonesia terutama yang dibuat tahun 1920-1950-an,” katanya.
Baginya, musik tradisional Indonesia memberikan nuansa harmonis tersendiri. Bunyi musik nusantara menurutnya khas, cenderung magis.
“Indonesia adalah akarnya bunyi-bunyian yang indah, esensi harmoni antara manusia dan alam,” ujarnya semangat.
Toko-toko piringan hitam di Milan, sudah paham secara otomatis, kalau datang kepingan langka dari Indonesia, maka mereka langsung menghubungi Ettore.
“Mereka tahu, saya tak akan menolak, berapapun saya beli,” ujarnya.
Belakangan, menurutnya piringan Indonesia di Milan makin sulit dicari, “kayaknya orang-orang mulai suka juga musik Indonesia, sekarang kolektornya banyak, saya tambah saingan,” ujarnya tertawa.
Tak hanya itu, koleksi bukunya mengenai Indonesia juga “segunung”. Semua masuk kategori buku-buku langka.
Melihat dedikasinya pada Indonesia, saya hadiahi dia majalah National Geographic Indonesia tentang pelestarian instrumen musik nusantara dan bahwa cabang ilmu etnomusikologi lahir karena kiprah seorang Belanda, Jacob (Jaap) Kunst (1891-1960) yang bertugas di Hindia Belanda dan berinisiatif mendokumentasi dan melaporkan ragam Instrumen dari seluruh nusantara.
Koleksinya mencapai 1000 alat musik, 700 pelat kaca positif dan 325 silinder lilin.
Saling banyaknya dokumentasi yang dia buat, sehingga tulisannya menghasilkan cabang ilmu tersendiri yaitu Etnomusikologi.
Hadirnya cabang Etnomusikologi ini berarti juga menunjukkan pengakuan dunia bahwa musik tradisional nusantara, sama peliknya dan memiliki struktur yang rumit seperti milik orang Eropa.
Ettore sangat gembira saat saya membernya hadiah majalah itu, kami kerap bertukar kabar tentang musik atau buku apa yang sedang dibacanya.
Kontribusi Indonesia Pada Instrumen Musik
PEJ Ferdinandus, dalam buku “Archeology: Indonesian Perspective, RP. soejono’s Festschrift” mengatakan bahwa di zaman ora sejarah, manusia awalnya bertepuk tangan dan menghentakkan kaki, untuk membuat musik.
Alkitab menyebutkan, cucù Adam, Jubal anak Kain, adalah pemusik pertama dengan alat musik berupa harpa.
Namun menurut penelitian, Mesir tiba-tiba memiliki alat musik berupa harpa dengan sudut vertikal, lyre, lute, oboe dan terompet saat Mesir menjajah Asia Barat sekitar 1500 tahun sebelum masehi.
Sebelum pengaruh India masuk ke nusantara, Indonesia telah memiliki kebudayaan musiknya sendiri berupa tambur (nakara) dan xylophone dengan skala pelog.
Di zaman dongson Indonesia juga telah memiliki tambur dari logam antara lain ditemukan di Plawangan (Jawa Tengah) yang diperkirakan dimanfaatkan untuk upacara dan ritual.
Hasil riset ilmiah juga memperlihatkan adanya efek spiritual yang dihasilkan oleh alat-alat musik kuno tersebut dimana pada masanya alat musik itu dianggap memiliki kemampuan mengusir roh jahat.
“Orang Indonesia kuno sepertinya sudah memahami teori suara, termasuk bunyi dari logam, terutama karena sebelumnya, tambur dibuat dari selaput berbahan organik, maka dengan perubahan material alat musik, diperkirakan masyarakat nusantara sudah memahami efek bunyi yang dihasilkan dari materi yang berbeda,” tulisnya.
Teorinya diperkuat dengan adanya temuan timpani dari Hoang Ha, Mouilie, Kabunan Dan Sangean yang dihiasi dengan relief Penari. Juga ditemukan instrumen lain seperti tongkat pemukul, kastanyet dan alat tiup.
Sementara di Mesir, musik digunakan untuk kegembiraan, di Israel, musik lebih dimanfaatkan untuk kegiatan religius seperti yang dilakukan oleh Raja Daud dan Salomo.
Sementara Yunani menurut Strabo, malah tidak menyumbangkan instrumen musik pada peradaban dunia.
Sementara itu di Cina, musik lebih dimanfaatkan sebagai alat pendidikan dan transfer ideologi.
Musik India memang cukup tua, usianya setidaknya 3000 tahun. Masa Veda memberikan kontribusi yang besar seperti konsep Margi dan tarian desi yang berevolusi menjadi karya epik melalui Puranas.
Pengaruh Hindu-Budha ini masuk ke Indonesia dan banyak ditemukan relief berupa alat musik misalnya di Candi borobudur berupa xilofon bambù.
Namun penemuan paling menarik adalah nekara dari Pulau Kei yang dibuat di Cina dan bertuliskan San-Chieh yaitu sebuah istilah kaum budhis yaitu “tiga dunia”, sehingga diperkirakan orang Kei telah memeluk Budhisme sejak abad ketiga.
Alat Musik sangkha juga muncul pada prasasti Tuk Mas abad ke-6 dan juga prasasti Cibuaya.
Namun Ada Instrumen seperti Ghana, bel dan ketuk yang tidak dikenal oleh budaya India, tampil di relief Borobudur, diperkirakan ini adalah prototipe dari Instrumen gamelan.
Demikianlah musik dunia mendapati kontribusi dari seluruh dunia, namun tampaknya Asia Tenggara terutama Indonesia memberikan kontribusi tersendiri dengan instrumen tradisionalnya
Oleh karena itu, tak heran bila musik dan tari bisa dibawakan dengan sangat natural oleh anak-anak di Nusantara, para penyanyi muda yang berlaga dalam kompetisi internasional kerap membuat juri dan penonton terkesima, bahkan beberapa berhasil memenangkan dan merebut juara pertama.
Bagus sekali….menambah pengetahuan saya tentang sejarah dan alat musik tradisional di Indonesia
Indonesia memang kaya raya….
Terus menulis Rieska…mantap !!!
Terima masih, semoga Kita semakin semangat menjaga, melestarikan dan menggunakan amat musik kita ya.