“Semua orang berhak menjadi jurnalis,” demikian kira-kira semangat yang muncul di permukaan saat Indonesia baru saja mengalami reformasi sebuah momen yang bersamaan antara bebasnya arus informasi dan munculnya teknologi pendukung seperti kamera genggam (handycam) dan internet.

Belakangan situasi lebih dimusnahkan lagi ketika muncul gawai telepon genggam yang harganya ekonomis namun fiturnya memungkinkan sang pemilik gawai melakukan kombinasi foto, rekam video, montase dan kirim secara langsung, sehingga seolah-olah kerja jurnalis televisi bisa diganti oleh siapa saja.

Betul, setiap orang berhak menjadi jurnalis, bahkan “netizen jurnalism” sudah diakui genrenya. Hadirnya genre ini dan adanya pengakuan bahwa media tak hanya berfungsi sebagai: “to inform, to educate, to entertain and to influence” juga berfungsi sebagai mesin ekonomi, maka mau tak mau ada kompromi di balik tayangnya sebuah Informasi di layar kaca. Selain sibuk mencari berita, meja redaksi setiap hari harus bertempur menjaga kemurnian visi dan misinya menghadapi diskusi internal Karena ada kepentingan para pemasang iklan, klien politik dan beragam pesan titipan lainnya jika di belakang layar ada kompromi, bagaimana nasib para penonton? Informasi apa yang sebetulnya mereka terima?

Sejalan dengan spirit semua orang bisa menjadi jurnalis maka semua orang berhak menjadi penonton yang kritis, tak sekedar menerima informasi. Selama ini, penonton televisi di nusantara selalu dituduh sebagai penonton yang tak punya selera, berselera rendah, diberi program bagus tak laku, yang ditonton malah program ecek-ecek, tak jauh dari seputaran gosip, drama, skandal artis dan klenik.Sementara, penonton yang punya kelas, kalah suara karena jumlahnya sedikit, maka pembuat program lebih suka menayangkan sesuatu yang sesuai dengan “kelas dan selera” pemirsa terbanyak, termasuk menayangkan pernikahan publik figur secara langsung tanpa mempertimbangkan apa relevansi pernikahan itu dengan kepentingan publik, semata karena yang memasang iklan banyak sekali.

Oleh karena itu, untuk menekan kualitas program yang tayang di media maka penontonlah yang menjadi penentu.Buku ini sebetulnya dibuat sebagai panduan dasar bagi para jurnalis televisi, tapi menurut saya, buku ini relevan bagi siapa saja yang memiliki televisi di rumahnya. Saya jamin, meski Anda bukan seorang jurnalis televisi, isi buku ini sangat menarik, ditulis oleh para pionir pertelevisian nusantara dan akademisi yang sangat kredibel.Setiap artikelnya dengan cara yang ringan, santun tidak menggurui tapi memuat pesan-pesan yang sangat bernas, penuh nutrisi.

Saya yakin, setelah membaca buku ini, pemirsa akan punya gambaran bagaimana sebuah berita bisa tayang dan bisa ikut menganalisa. Pepatah: “Don’t judge the book by it’s cover,” memang benar, buku ini secara fisik tampaknya tak menarik, tapi sebenarnya buku ini bukan sekedar bacaan, buku ini adalah jembatan kita untuk memperpanjang memori, bahwa para jurnalis televisi memberikan kontribusi besar pada independensi jurnalisme.

Asosiasi jurnalis televisi, lahir dengan membawa nafas kebebasan berpikir dan kemerdekaan dari kepentingan kekuasaan yang rakus, sebuah teladan profesi yang dalam sejarah kelahiran berani frontal melakukan praktek independensi secara nyata dalam upaya mewujudkan hidup demokrasi yang sehat. Reformasi dan demokrasi yang sehat bisa muncul tak hanya dari buah perjuangan para jurnalis, tapi diiringi para pemirsa yang kritis.

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X