Rasa inferior adalah salah satu karakter yang tidak dimiliki jurnalis legendaris asal Firenze, Italia, Oriana Fallaci.
Dalam karya tulisannya, tampak semua pemimpin Dunia adalah “rekan kerja” yang harus dia dapati pertanggungjawabannya, terutama ketika mengambil sebuah keputusan, yang berdampak pada nasib jutaan umat manusia.
Saat mewawancarai narasumbernya, pertanyaannya berani dan tajam, tanpa ampun, itulah gaya telisik yang membedakannya dengan jurnalis-jurnalis lain.
Laporannya punya nyawa. Ia tak sekedar membuat kisah.
Gaya menulisnya sangat luas sehingga bagi khalayak pembaca setianya, tulisannya seolah membantu pembaca untuk turut hadir bersama para narasumber tersebut dan seolah turut mendengarkan di ruangan itu, sebuah situasi yang sangat absurd, sebab nyata-nyata Oriana selalu menuliskan tanggal dan lokasi wawancara yang jelas jauh dari lokasi khalayak pembaca.
Fallaci adalah jurnalis yang tak pernah puas. Benaknya selalu penuh kecamuk. Pribadinya terus mencari jawaban, dan dengan penuh keberanian dan tekad ia mengajukan pertanyaan-pertanyaannya langsung pada para pemegang kekuasaan di seluruh belahan bumi.
Selama karirnya, tak kurang 26 tokoh penting abad ini, pernah diwawancarainya dari mulai Henry Kissinger, Golda Meir, Bhutto, Raja Hussain dan sebagainya.
Terlihat dengan pilihan katanya, saat berbicara dengan para tokoh ia selalu menghormati narasumbernya tapi juga pada saat yang sama memiliki posisi setara, dialog itu demikian berbobot sehingga jurnalis dan narasumber seolah sedang bertukar pikiran, kawan diskusi, merenungkan kemungkinan-kemungkinan masa depan sejarah kemanusiaan yang selalu beriringan dengan kekuatan, kekuasaan dan nafsu perang.Tentu saja, pertanyaan yang keras itu tidak mudah bagi orang yang diwawancarai dan bahkan laporan-laporannya juga menuai kritik, pro dan kontra.
Tapi Fallaci adalah salah satu penulis yang paling dihormati dan dihargai, para tokoh bahkan memanggilnya ke Istana mereka untuk mendapati giliran berbicara.
Semangatnya tak tertandingi. Ia berhasil mewawancarai Golda Meir yang kontroversial bagi negara-negara yang berkonflik dengan Israel dan usai wawancara ia kembali ke Italia dan beristirahat di sebuah hotel di Roma.
Ia keluar sebentar untuk membeli sesuatu, dan ketika kembali, kamar yang telah dikuncinya tampak disatroni maling. Kaset rekaman suaranya bersama Golda Meir hilang digondol maling.
Polisi Italia yang turun tangan mengkonfirmasi Kalau pencoleng itu mengarah pada material wawancaranya dan bukan harta berharganya yang lain.
Oriana pun harus mengirim telegram darurat pada Golda tentang material wawancaranya yang hilang dicuri dan memohon wawancara ulang.
Golda memberikan jawaban positif untuk mengulang wawancara beberapa bulan Kemudian. Tak lama, berselang setelah kejadian pembobolan itu, Jurnalis dari media kompetitor Italia dipanggil oleh pemimpin Libya, Muamar Ghadafi untuk mewawancarainya di Tripoli dan ketika Oriana membaca laporan dari Tripoli, tampak jelas Ada beberapa statement seolah jawaban Ghadafi atas pertanyaan-pertanyaanya pada Golda Meir.
Ketika Oriana menanyakan bagaimana beliau mengetahui pembicaraannya dengan Golda Meir, padahal laporannya belum pernah dipublikasikan, Ghadafi tak pernah menjawab pertanyaannya ataupun mengundangnya ke Tripoli.
Dalam tulisannya mengenai Golda Meir, Ia menceritakan insiden itu sekaligus mengutuk keculasan Ghadafi.
Siapa Oriana Fallaci
Lahir pada tahun 1929, di Florence Italia, Oriana Fallaci adalah anak tertua dari empat bersaudara. Sang ayah berkecimpung di Partai Sosialis Italia, sang ibu mendukung gerakan perlawanan.
Sangat mudah baginya untuk memahami spirit perjuangan, bagaimana di rumah Oriana kecil mengambang udara anti-fasis sedemikian rupa sehingga, pada usia 14 tahun, Fallaci bergabung dengan kelompok partisan Keadilan dan Kebebasan bersama ayahnya, dan dengan nama pertempuran “Emilia” dia membawa pesan rahasia, yang diterjunkan oleh Sekutu ke perbukitan di Firenze.
Setelah pembebasan, dia aktif berpartisipasi dalam Partai Aksi dan bertemu dengan tokoh-tokoh simbolik Perlawanan, yang mentransmisikan kepahlawanan dan keberaniannya, tetapi juga gagasan tentang pengorbanan kepala jiwa mudanya yang bergelora.
Ia kuliah di Fakultas Kedokteran dan pada saat yang sama menulis untuk surat kabar Il Mattino dell’Italia Centrale (Pagi dari Italia Tengah).
Semangat untuk menulis tidak diragukan lagi diwarisi dari orang tuanya, yang pertama-tama menularkan kecintaannya pada membaca, mendirikan “ruang buku” di rumah: di sini, bersama dengan saudara perempuannya, Fallaci membaca sastra klasik yang hebat.
Alih-alih berkecimpung di dunia medis, Ia kemudian memutuskan untuk menjadi jurnalis.
Pada 1950-an dia pindah ke Milan, berkolaborasi dengan mingguan Epoca, lalu dengan L’Europeo, yang dipimpin oleh Michele Serra, hingga 1977.
Eksplorasi ke Luar Negeri
Dunia saat itu sedang mengalami transformasi sosial, Oriana Fallaci melakukan perjalanan untuk mengetahui perubahan di Barat, karena itu, dia pergi ke New York dan mempelajari masyarakat Amerika, kaum hippie, dan budaya tandingan dengan cermat.
Hasilnya adalah sebuah buku, The Seven Capitals of Hollywood, dengan kata pengantar oleh Orson Welles, di mana ia mengungkap di balik layar kekuatan sinema.
Dari Amerika ia tertarik pada isu Vietnam, dan Fallaci adalah koresponden perang wanita pertama yang dikirim ke medan perang.
Sepanjang kariernya bersama L’Europeo dia berkiprah 12 kali dalam 7 tahun, membuat laporan kritis baik tentang invasi AS dan tindakan Front Nasional untuk Pembebasan Vietcong (cerita ini dikumpulkan dalam novel “Tidak Ada dan Jadilah itu” , terbit pada tahun 1969 ).Namun seruan Amerika terlalu kuat, dan saat itu ada kejadian lain yang mendorong Fallaci meninggalkan medan perang Vietnam untuk mengikuti dampak pembunuhan Martin Luther King dan Robert Francis Kennedy di Amerika Serikat.Ia juga pernah berkiprah di Mexico tepatnya di Mexico City, menjelang Olimpiade 1968, ia berpartisipasi dalam demonstrasi mahasiswa yang ditindas dengan darah oleh polisi: di antara 250 orang tewas di Piazza delle Tre Culture, jurnalis tangguh ini juga terluka, bahkan dibawa ke kamar mayat rumah sakit karena dikira sudah tidak bernyawa, untuk kemudian “diselamatkan” oleh seorang pendeta.
Ia selamat dari tragedi tersebut dan selamanya “mendendam” pada Meksiko.
Selain itu, jika kita ingat tokoh komik Tintin yang bersahabat rentan Profesor Calculus yang membawanya ke Bulan, maka persahabatan Fallaci juga terjalin dengan para ilmuwan, termasuk dengan para astronot misi Apollo, terutama dengan Neil Armstrong, yang membawa foto wajahnya ke bulan. Kisah ini dia ceritakan dalam beberapa anekdot dalam sebuah buku “Hari itu di Bulan”.
Kisah Cinta Tanpa Anak
Oriana Fallaci tak hanya populer karena karya jurnalistik dan buku-bukunya, tetapi juga kisah cintanya dengan Alexandros Panagulis, seorang politisi Yunani pemberani, yang pernah dipenjara karena mencoba, dengan sia-sia, untuk membunuh diktator Georgios Papadopoulos, pada tahun 1968.
Wartawan itu bertemu sang tokoh saat ia meninggalkan penjara: keduanya menjalani hubungan yang indah namun juga dalam derita, Oriana sempat mengandung bayi Panagulis namun keguguran.
Pada 1 Mei 1976, Panagulis tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang misterius, dianggap oleh media massa sebagai “pembunuhan”
Kehilangan suaminya ini menandai jeda dari dunia jurnalisme untuk Fallaci yang kemudian mengabdikan dirinya, selama beberapa tahun, hanya untuk menulis buku, seperti Inscialah (Insya Allah) terbit pada tahun 1990, di mana dia menceritakan tentang perang saudara yang berkecamuk di Lebanon pada tahun 1983, dalam bukunya ia telah mengecam keras fundamentalisme Islam.
Masa Senja Oriana
Pada tahun 1992 Oriana Fallaci jatuh sakit karena kanker payudara yang memaksanya untuk menerima nasib menghadapi perang lain, kali ini lebih pribadi.Pada 11 September 2001 dia berada di New York, saat Menara Kembar runtuh, ia kembali menorehkan tinta jurnalistiknya yang selama ini membeku, dan mengirimkannya pada media massa nasional Italia, Corriere della Sera, dengan artikel pada 29 September yang berjudul “Kemarahan dan Kebanggaan”.
Artikel ini menuai pro dan kontra, di mana dia berakhir di pengadilan, dituduh mencemarkan nama baik Islam. Dari artikel tersebut ia juga mengembangkan sebuah buku dengan nama yang sama, yang pertama dari trilogi yang mencakup wawancara The Power of Reason dan Oriana Fallaci sendiri, diterbitkan antara tahun 2001 dan 2004.
Setelah operasi dan perawatan kegiatan menulisnya tertunda, namun ia terkenal karena ungkapan: “Buku saya adalah anak-anak saya, dan saya membayangkan mereka seperti itu”. Dalam sakitnya, ia merasa bahwa akhir sudah dekat dan dengan demikian ia mengungkapkan keinginan untuk kembali ke Florence, kampung halamannya.
Berlusconi menanggapi permintaanya dan menganggapnya sebagai harta nasional dan mengirim jet privat baginya untuk kembali ke Italia.
Wanita tangguh ini meninggal pada tanggal 15 September 2006. Oriana Fallaci dan tulisannya adalah bukti dari seorang wanita yang menatap mata kematian, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dan kiprahnya adakah upayanya untuk memberi penghormatan kepada kehidupan, yang sangat dicintai, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.