Jejak peninggalan Masa megalitikum di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Foto oleh Rieska Wulandari.

Tiga minggu belakangan ini saya asyik membaca sebuah buku, yang membuat saya merasa abad pertengahan itu baru terjadi kemarin dan peradaban Mesir itu kemarin dulu. Kok bisa? Sebab, buku ini berhasil “mendekatkan” saya pada masa lalu Nusantara, bahkan sebelum Mesir membangun piramid pertamanya.

Buku berbahasa Inggris dengan 620 halaman ini berisi kumpulan tulisan ahli sejarah nasional dan internasional, sebagai hadiah pada tokoh ilmu sejarah bahkan dianggap “dewanya” arkeologi pra sejarah – Bapak R.P Soejono sehingga judulnya pun “Archeology: Indonesian Perspective. R.P. Soejono Festschrift” diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia- LIPI, pada tahun 2006.

Menggambarkan Nusantara Sebelum era Hindu-Budha

Penelitian para ahli menunjukkan, jauh sebelum Hindu-Budha memasuki Nusantara, ternyata kawasan ini telah memiliki dinamikanya sendiri yang menarik untuk disimak.

Menurut penelitian oleh Semah, manusia telah mendiami gua di Song Terus Pacitan sejak 180.000 – 4000 tahun lampau.

Dari sebaran megalitik di seluruh Nusantara, terlihat bahwa ada periode ketika Nusantara hanya punya satu “agama” yaitu spiritualisme berupa pengakuan pada sesuatu yang agung, penguasa semesta.

Bagaiman prakteknya, siapa pemuka agamanya, bagaimana penyebarannya, apakah ada misionarisnya? Menarik sekali.

Saya rasa, penelitian yang lebih intensif di situs-situs megalitikum yang tercatat di buku ini, benar-benar harus terus dilakukan, karena sangat-sangat bikin penasaran.

Kerajaan Sunda
Tak hanya itu, pada Bab 5 juga membahas arkeologi klasik saat Hindu-Budha masuk ke tanah Sunda dimana penulis Titi Surti Nastiti menyebutkan bahwa dalam manuskrip Sanghyang Siksakanda Ng Karesian yang dibuat pada 1518 Masehi menyebutkan bahwa: “Rumah-rumah dan jalan dirawat, rumah juga terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, tanaman sudah diberi pupuk, sawah yang belum teririgasi diurus, perkebunan karet diurus, kehidupan orang lokal sejahtera”.

Dalam manuskrip ini juga disebut bahwa penduduk membayar pajak yang disebut panggérés reuma atau pare dongdang untuk panen yang surplus (berlebih) juga kapas timbang berupa pajak kolektif dari sebuah wilayah (jadi ingat simbol Pancasila padi dan kapas – di text ini jadi paham bahwa simbol padi dan kapas adalah kontribusi rakyat pada negara, untuk kesejahteraan negara).

Dalam manuskrip “Carita Parahyangan” disebutkan Pancakusika yang menjelma menjadi lima Sang Kandiawan dan Kandiawati yaitu:
Sang Mangukuhan menjadi pahuma atau orang yang bekerja di lahan tanpa irigasi (Huma/ladang).
Sang Karungkalah menjadi panggerek atau pemburu.
Sang Katungmaralah panyadap : menjadi kaum penyadap (karet dan sebagainya).
Sang Sandanggreba menjadi pedagang sandang (?)
Sang Wretikandayun : menjadi raja.
Dalam komunitas Sunda, lahan tanpa irigasi disebut Huma, Huma beet, Gaga dan Serang Ageung. (Kota Serang?). Orang Sunda juga memiliki alat pertanian yang afektif yaitu kujang, patin, kored.

Tome Pires menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda disebut Dayo (Dayeuh?) Ditempuh dalam waktu dua hari dari pelabuhan Kalapa ke arah dataran tinggi. Penduduk kota menempati rumah yang indah terbuat dari kayu dan atapnya dari daun palem. Raja bermukim di sebuah istana yang terbuat dari 330 pilar kayu besar sebesar tong minuman anggur (dalam diameter) dan setinggi 9 meter. Bagian atas pilar dihias dengan indah. Ibu kota Dayeuh itu bernama Pakuan Pajajaran.

Adolf Winkler berkunjung ke Pakuan Pajajaran pada 1690 dan mengatakan kota ini terletak diantara dua sungai yang pararel yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane dan istananya bernama: Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Berdasarkan namanya, para ahli memperkirakan istana ini terdiri dari lima gedung yang berbaris dari Utara ke Selatan. Dari nama tersebut, maka banyak istana di tanah Sunda juga bernama Sura, misalnya di Galuh, Kawali, yang bernama Surawisesa dan Banten Surasowan.

Untuk pekerjaan sehari-hari raja dibantu seorang Mangkubumi, yang mengontrol pekerjaan Wado, mantri, nu nangganan, dan syahbandar yaitu seorang yang bertugas mengatur perdagangan di pelabuhan – pelabuhan milik Raja. Sementara wilayah-wilayah jajahan dipimpin oleh raja wilayah yang wajib membayar upeti pada raja utama. Jika raja mangkat maka akan digantikan oleh putranya, jika tak ada putra maka dapat digantikan oleh perwakilan raja dari wilayah jajahan melalui sistem pemilu.

Tanah Sunda pesisir juga berbisnis dengan saudagar dari Pariaman yang menjual kuda, emas, Cendana, Barus, sutra, lilin, madu.

Saudagar Sunda juga memiliki kapal dan berdagang hingga Malaka jauh sebelum Malaka menjelma menjadi pelabuhan yang sibuk. Mereka punya kapal yang disebut lancharas yang mampu mengangkut muatan sebanyak 150 ton, atau pangajawas atau kapal cargo.

Tome Pires juga menggambarkan kerajaan Sunda memiliki lebih dari 6 kapal lancharas gaya Sunda yang layarnya dilengkapi sebuah instrumen seperti crane (?) dan tangga diantaranya sehingga mudah untuk melakukan navigasi (perjalanan laut).

Mereka juga punya budak laki-laki dan perempuan yang berasal dari Maldive yang jaraknya hanya 6-7 hari.

Sebagai negara agrikultur, Sunda juga menghasilkan padi, asem, Java long pepper atau lada panjang, yang kualitasnya lebih prima dibanding produksi Chocin (wilayah antara Vietnam dan Cina) bahkan juga lebih baik dari Jawa (Ta Pan). Jumlah produksi Long Pepper Sunda mencapai 1000 Bahar, dimana 1 Bahar setara 400 kg, sementara asam Jawa bisa mengisi penuh ribuan kapal.
Selain itu, produksi tanah Sunda yang dieksport adalah kacang dan air mawar.

Sunda juga mengekspor buah labu panjang, labu bulat, tebu, kacang merah, terong.
Penyadap nira juga membuat minuman alkoholik (lahang/tuak?) Pedagang kelapa menjual minyak kelapa dan petani palem menjual gula aren, ada juga penjual ikan asin, ayam, kerbau air

Sementara itu komoditas ternak berupa sapi, kambing, babi, unggas dan daging.

Tanah Sunda memiliki 4000 ekor kuda yang juga menjadi komoditas penting namun mereka tidak membuat kuda anakan melainkan membelinya dari Pariaman.
Sementara kerbau buffalo sondanicus dan rusa banyak ditemukan tapi tidak dijual.

Sementara itu pekerjaan gembala disebut rare angon yang membawa domba dan kerbau air, pacelengan yaitu peternak babi, pakotokan peternak ayam, namun tidak ada peternak kuda.

Eksport lainnya yang berharga adalah cula badak dari Rhinoceros Sondanicus.

Sementara itu, nelayan yang menyelam saat mengambil ikan disebut palika. Alat-alat nelayan berupa jala tapi ada cara lain untuk memanen ikan yang disebut marak (murak).

Orang Sunda juga punya ahli batik disebut pangayeuk dan ragam motif batik seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, sèmat sahurun, anyam cayut, sigèjj, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cècèmpaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boleh siang, bèbèrnatan, papakanan, surat awi, Parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, laris, hujan riris, boeh alus dan ranggen panganten.

Tanah Sunda juga kaya ahli /pandai pengrajin logam misalnya pandai mas, pandai wsi, pandai dang, pandai glang. Mereka membuat berbagai keperluan harian dan upacara antara lain pedang, cambuk, pisau, belati, Kampak, pisau sadap, golok, kala katri, peso raut, peso dinding, pangkot, pakisi, danawa.

Sejak zaman prasejarah, orang Sunda sudah ahli tanah liat yaitu dari peninggalan di komplek Buni yang terletak di distrik antara Karawang-Bekasi, kedungringin, Bulaktemu, Kebonklapa, Batujaya, Puloglatik, juga 18 km dari lokasi diatas: Rengasdengklok, Kobakkendal, Dongkal, Cibutek, Pojoklaban, Tegalkunir, Babakan Pedes, Turi, Karangjati dan Cilogo. Lokasi ketiga adalah Cibango dekat Cilamaya.

Rute jalan kerajaan Sunda menggunakan jalan darat dan sungai. Dari Pakuan ke timur ada jalan menuju Karangsambung. Melalui Cileungsi atau Cibarusah ke timur laut menuju Tanjungpura, Karawang lalu tepi sungai Cimanuk.
Di Karangsambung diperkirakan ada jalan yang menghubungkan Tomo dan Rajagaluh Cirebon, turun ke selatan menuju Kuningan dan berakhir di Galuh Kawali dan juga Talaga juga wilayah Cikijing.
Dari Pakuan ada juga jalur Jasinga dan Rangkasbitung menuju Serang dan Wahanten Girang (Banten), menuju pelabuhan. Dari Pakuan juga ada jalur menuju Ciampea dan Rumpin.

Sementara itu Bujangga manik dalam perjalanan menuju Majapahit dari tanah Sunda menempuh jalur: Puncak, Tajur mandiri, Suka Beurus, Eronan, Mandala Puntang, Saling Galah, Gègèr Gadung sampai Galuh Kawali.

Jalur melalui sungai bisa dilakukan dengan kapal yang dinakhodai seorang tarahan.

Kawasan penting kerajaan Sunda adalah Banten, Pontang, Cigede, Tangerang (Tamgara), Kalapa dan Cimanuk.

Di pelabuhan juga ada juru bahasa darmamucaya atau penerjemah yang memiliki keahlian dalam bahasa: cina, kling /Keling/India, Parasi atau Irak, Mesir, Samudra, Banggala, Makassar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay (Pasai), Parayaman (Pariaman), Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Pego, Minangkabau, Mekah, Burtete, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ogan, Kanangen, Komering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa (India), Seran, Gedah, Solot, Solondong, Indragiri, Tanjungpura, Sakampung, Cempa, Baluk dan Jawa!

Menarik kan buku ini? Meski Anda bukan arkeolog, saya rasa buku ini bisa jadi koleksi yang istimewa!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X