RI3SKA.COM – Membahas musik Indonesia, bagi peneliti Etnomusikologi asal Italia, Luigi Monteanni, Indonesia tidak hanya kaya akan musik tradisional dan modern, tapi juga kaya dengan bunyi-bunyian yang bahkan menjadi fenomena musik urban yang menarik.
“Telolet adalah fenomena musik urban paling menarik, lucu, menghibur sekaligus bisa menindentifikasikan Indonesia hanya dari bunyi-bunyian itu, sangatlah luar biasa,” ujar ahli musik yang lulus dengan predikat cum laude baik dari Universitá Cattolica del Sacro Cuore di Gesù, Milano maupun master dari Alma Mater Studiorum, Bologna serta mendapatkan beasiswa Darmasiswa dari Institut Seni Budaya Indonesia di Bandung pada tahun 2017-2018.
“Sangat mengagumkan bagaimana sebuah karya vernacular atau karya lokal bisa merajai internet dari bunyi-bunyian yang memiliki daya tarik sehingga orang merasa penasaran dan mencari tahu tentang bunyi tersebut. Tidak hanya penasaran, mereka juga kemudian membuat dan menyumbangkan bunyi-bunyi klakson dari berbagai daerah, sehingga munculah kompilasi klakson terbaik, tidak hanya dari seluruh wilayah nusantara, tapi juga dari negara-negara lainnya dan hal ini menjadi ekosistem bunyi-bunyian tersendiri di masa internet,” ujarnya ketika berbicara dalam wawancara daring di Milan pekan lalu.
Dalam penelitiannya, Luigi mengatakan bunyi dasar “Om Telolet Om” berasal dari tingkah pengemudi bis yang memiliki ketertarikan tersendiri terhadap klakson sejak kehadiran Chevrolet “Divisi 74” yang hadir di Sumatera Barat pada kurun waktu 1970an.
Berbagai perusahaan akan menampilkan bunyi terompet yang dimainkan dengan 3 organ dengan pipa yang dipasang di mesin bus jarak jauh yang dikenal sebagai kalason oto Gumarang; Gumarang menjadi yang pertama dari sekian banyak perusahaan bus yang mengintegrasikan klakson.
Pengemudi memainkan lagu-lagu folk dan pop untuk menghibur penumpang demi menarik klien potensial. Luigi mengutip Barendregt 2002, mengatakan, daya tarik untuk instrumen baru ini akhirnya menghasilkan genere yang tepat yang dipasarkan dalam format kaset, di mana “keyboard Casio” biasa digunakan sebagai alat yang dapat meniru suara klakson.
Telolet sendiri berasal dari suara terompet polifonik yang disambungkan dengan corong dilengkapi dengan enam atau dua belas tombol. Setiap tombol mengontrol satu speaker yang mewakili satu nada dan diprogram dalam sebuah kombinasi menjadi melodi, yang dilengkapi dengan tenaga baterai, suaranya menjadi sangat kencang menggelegar.
“Meski suara ini juga ada di negara lain, tapi bunyi ini telah menjadi simbol dan wakil Indonesia dalam budaya digital,” demikian tulis Luigi dalam penelitiannya yang dipublikasikan dengan judul “Viral Horn Global Village” pada 25 Februari 2020 yang lalu.
Setelah sistem bus berubah di seluruh Indonesia pada tahu 1975, budaya kalason berangsur luntur juga seiring dengan hilangnya bus tersebut.
Pecah di Jagat Maya
Pada Desember 2016, internet seolah merayakan kehadiran slogan “om telolet om” dan menjadi google trend pada 2019, yang membuat para pengguna internet di seluruh dunia kagum sekaligus bingung. Fenomena ini lahir di Jawa kira-kira sebulan sebelum seorang remaja dari kota kecil di Pantura memutuskan untuk “nongkrong” di tepi jalan besar dan meminta para supir bus untuk membunyikan klaksonnya dengan menuliskan slogan “om telolet om” sejak itu, anak-anak sub urban berusaha mengumpulkan rekaman dan menggunggahnya melalui saluran youtube dengan kata kunci “keren, lucu, unik”.
Bunyi dan slogan ini bahkan digunakan oleh artis terkenal seperti Marshmello and Ummet Ozcan7 ketika Indonesia mulai menggunakan slogan ini dalam Twitter dan Facebook sebagai tanda pagar (hashtag) kepada DJ yang mereka sayangi.
Sejak itu telolet menjadi fenomena global dan masyarakat mulai menyaksikan remix penghormatan telolet yang menampilkan sampel klakson terkenal.
Dalam risetnya Luigi menulis, “Indonesia sangat bahagia, melihat budayanya mendunia (Soriente 2017, tidak ada yang mengklaim royalti atau pengakuan untuk suara sampel tersebut. Sebaliknya, peserta dan cendekiawan menafsirkan «om telolet om» sebagai warisan nasional digital yang menggambarkan identitas Indonesia secara keseluruhan dan dengan demikian menjadi milik semua orang (Soriente 2017, Rijal 2016)”.
Luigi mengatakan fenomena telolet bisa menjadi pedang bermata dua, di satu sisi, orang Indonesia memperoleh tingkat modal sosial yang lebih tinggi berkat infrastruktur digital dan sirkulasi suara, dimana dengan praktek ini, ada kemungkinan anak-anak mendapat perhatian dari musisi kesayangannya, yang berperan sebagai sektor budaya Indonesia di dunia Barat.
Di sisi lain, remix ini menggunakan sampel dengan cara yang melanggengkan gagasan tentang negara yang aneh, mereduksi telolet menjadi suap suara eksotis belaka. Meski tidak berbahaya,
faktanya, penggunaan telolet dapat menjadi cara untuk mengenali bagaimana orang secara budaya memilih, membuat katalog dan mengarsipkan suara atau kesempatan lain di mana suara terikat dengan narasi orientalis.
Luigi mengatakan Indonesia sangat kaya akan musik dan bunyi-bunyian sehingga dalam masa internet pun, Indonesia memiliki daya tarik tersendiri, dan ini yang harus dibangun dalam masyarakat musik Indonesia, yaitu bahwa musik mewakili mereka tidak hanya lintas regional, tetapi melesat lebih jauh, mewakili Indonesia di tingkat dunia dan tetap menjadi bangga pada jati dirinya.
Penulis: Rieska Wulandari
Editor: JG