RI3SKA.COM – Lepas dari gelombang 1 Covid-19 pada bulan Mei, Italia kembali membuka sektor turisme demi pemulihan ekonomi mereka. Sektor turisme telah mendarah daging dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Italia. Dalam studi sejarah terbitan tahun 1991 yang dilakukan oleh dua sejarawan yang menitikberatkan minat penelitiannya pada pentingnya pariwisata terutama tentang Grand Tour, John Towner dari Tyne Polytechnic, UK bersama Geoffrey Wall, geografer dan Dekan untuk Studi dan Riset Pascasarjana, Fakultas Studi Lingkungan, Universitas Waterloo, Canada yang minat risetnya berfokus pada evolusi penggunaan lahan rekreasi dan dampak pariwisata, mengatakan kegiatan turisme di dunia khususnya di Italia, sejatinya berakar dari kebudayaan pada kerajaan Romawi, negara tua yang merupakan cikal bakal Italia.
Argumen mereka, berdasar pada salah satu studi pertama yang dianggap paling relevan dengan sejarah pariwisata, dilakukan oleh Friedlander (1965) tentang kehidupan dan perilaku masyarakat pada zaman kekaisaran Romawi, dimana menurut peneliti Jerman ini, orang Romawi yang kaya raya (secara umum tinggal di kota Roma), biasanya memiliki rumah kedua di kawasan teluk Napoli. Disebutkan dalam studi yang dilakukan di tahun 1970-an, trend ini menyebabkan tumbuhnya villa-villa dan pembangunan jalan di kawasan teluk Napoli di masa itu.
Dengan sejarah turisme yang panjang ini, Italia sangat paham dan sangat menyadari pentingnya sektor turisme. Mereka adalah sumber ide dari lahirnya pariwisata dan tentu saja bisnis pariwisata menjadi anak kandung kebudayaan mereka. Warga Italia sendiri sangat percaya bahwa negerinya termasuk negeri paling indah di dunia. Mereka juga dikenal sebagai bangsa yang gemar menjelajah dan dari hasil perjalanan mereka, justru mereka mengkonfirmasi jika negeri mereka sendiri tak kalah cantik.
Bangsa Italia dikenal sebagai bangsa yang secara naluri memiliki kemampuan mendeteksi keindahan, mengapresiasi dan merawat keindahan itu. Ditambah kejeniusan mereka dalam bidang teknik sipil dan arsitektur, maka tangan-tangan dan daya bangun mereka, mampu melengkapi bentang Italia dengan monumen dan karya arsitektur yang spektakuler dan mampu berdiri tegap meski sudah bertarikh ribuan tahun.
Kombinasi alam dan kerja keras ini, membuat negara dengan populasi 63 juta jiwa ini, mampu menjaring kunjungan sebanyak 216 juta wisatawan pada tahun 2019 dan 30 juta diantaranya mengunjungi Venesia.
CORONA
Sektor turisme Italia yang menjadi tulang punggung ekonomi dan dasar falsafah kehidupan mereka,tiba-tiba terhambat akibat Corona. Destinasi yang paling romantis di dunia, diperkirakan kehilangan lima juta pengunjung untuk liburan Paskah 2020 kemarin.
Sejak Italia menutup perbatasannya dan memutuskan untuk fokus dalam melindungi warganya demi memerangi Virus SARS CoV2 melalui strategi karantina total, sektor ini kehilangan pendapatan hanya pada periode Maret – Mei saja, yaitu masa liburan paskah dan musim semi. Sekitar 35 juta euro dan terdapat setidaknya 50.000 ribu warga kehilangan pekerjaan.
Lembaga statistik Italia, Istat bahkan mengatakan untuk periode Maret – Mei 2020, Italia mengalami penurunan pengunjung hingga 91 persen atau 81 juta turis dan mereka berharap bisa memperbaiki situasi ini pada musim liburan musim panas (Juni – Agustus). Namun apa daya, di musim panas pun situasi pandemi di dunia masih sedemikian parah, sehingga Italia kehilangan turis asing terutama dari Amerika, Inggris, Cina dan Jerman serta negara lainnya, dimana hunian hotel hanya mencapai 63,9 persen dibanding tahun lalu.
Presiden Region Veneto, Lucca Zaia pada press conference daring, 20 Mei 2020 lalu saat melakukan pertemuan dengan Asosiasi Jurnalis Asing di Italia mengatakan pihaknya telah 90 hari menutup region yang dipimpinnya sejak 21 Februari dan dia mengklaim, Venesia siap membuka diri kembali kepada publik.
“Kami merupakan region pertama yang membuka diri dan membuka pantai karena kami ingin memberikan sinyal yang baik dan memberikan pesan bahwa kita sungguh-sungguh sehat dan sebagai zona turistik ingin memberikan contoh bagi yang lain,” ujarnya
Sebagai informasi, Venesia biasa meraih 60 persen turis dengan 18 miliar pemasukan. “Dan kami siap menyambut kembali turis dari berbagai negara yang telah sejak lama selalu datang ke Venesia dan secara rutin kembali untuk liburan musim panas,” sambungnya.
Ia mengatakan, mengangkat kembali sektor turisme Venesia yang jatuh akibat pandemi bukanlah yang yang mudah. “Kita tahu bahwa pada tahun 2019 lalu kita sangat kurang beruntung dimana ada kasus kecelakaan dengan salah satu kapal pesiar, kemudian ada air pasang yang menyebabkan banjir yang telah merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian hingga miliaran euro. Kemudian memasuki 2020, kami diserang virus,” ujarnya.
Tapi ia menjamin, Venesia bangkit dan kembali membuka dan bahkan akan tampil lebih cantik dari sebelumnya. “Venesia akan selalu mempertimbangkan semua aspek dan menjamin semua kelas sosial dengan standar yang pasti. Kami juga akan mempersiapkan bagaimana tempat di stadion, bioskop dan berbagai lokasi turistik agar nyaman bagi pengunjung,” tuturnya.
Selain itu, kedatangan wisatawan juga akan dikontrol. “Kami akan mengontrol semua kedatangan turis. Baik itu dengan perjalanan udara, kereta atau kapal agar semua ditangani dalam standar keamanan dan nafas turisme yang berkelanjutan karena Venesia adalah satu-satunya kota laksana sebuah museum terbuka di dunia,” tandasnya.
TETAP LINDUNGI VENESIA
Membuka kembali keran turisme di masa pandemi, Zaia tetap menekankan prinsip perlindungan bagi kota, warga dan segala kekayaan dan potensi yang terkandung di dalamnya.
“Saat ini kami akan protektif terhadap kota Venesia, warga dan seluruh potensinya, terutama karena Venesia adalah lokasi warisan peradaban dunia,” tambahnya.
Ketika ditanya tentang pembukaan perbatasan Italia dengan negeri-negeri tetangga tanpa perlu melalui proses karantina, Zaia mengatakan pihaknya akan menangani sektor turisme dengan tanggungjawab yang penuh.
“Turis dari Rusia, Jerman, Perancis bisa datang ke sini dengan garansi dokumen kesehatan dan kita juga memiliki garansi pelayanan kesehatan yang bagus. Untuk melanjutkan kembali denyut turisme kami akan mendengungkan Covid-free tourism,” ujarnya.
Sebagai informasi, di bawah kepemimpinan Zaia, Region Veneto yang beribukota Venesia dan memiliki teritorial seluas sekitar 7 juta meter persegi ini telah mengantisipasi kemungkinan wabah sejak Januari ketika Cina mengumumkan situasi kritis mereka pada 31 Desember. Dan disusul pada 29 Januari 2020 lalu, ada dua pasien dari Cina dinyatakan positif Covid-19 di rumah sakit Spallanzani Roma. Region ini segera membangun task force, yang dikepalai oleh Dr. Russo.
MIMPI MEMBANGUN PARIWISATA CERDAS DAN BERKELANJUTAN
Kontras dengan kota lain yang kekuarangan turis, Venesia berada pada titik jenuh turisme, karena pengunjung sedemikian banyak dan padat, sehingga kota ini bahkan terancam keberlangsungannya karena eksploitasi di bidang turisme.
Pemerintah lokal Venesia mempertimbangkan langkah radikal untuk merevitalisasi kembali sektor turisme menghadapi tantangan Covid-19. Wakil walikota Simone Venturini, mengatakan: “mungkin sudah saatnya mempertimbangkan model yang lebih lembut, walaupun itu berarti secara fisik membatasi jumlah pengunjung,” ujarnya.
“Ini akan menjadi kesempatan untuk bergerak ke arah pariwisata cerdas. Dengan turis yang meluangkan waktu untuk memahami dan menjauh dari tur yang hingar bingar di waktu lain,” tambahnya.
Ia mengakui langkah ini akan sulit dilakukan mengingat ketergantungan kota pada pariwisata, tetapi untuk saat ini, diakui Venesia bagai berada dalam mimpi buruk. Anehnya, justru dalam kenyataannya, kontradiksi. Jalan yang biasanya penuh dijejali turis dari berbagai penjuru bumi, kini dalam keadaan kosong, seolah membuat kota yang cantik ini, kembali menjadi milik warga Veneto yang biasanya harus membagi kota ini dengan ratusan hingga ribuan turis asing setiap harinya.
Beratnya beban Venesia akibat turisme, membuat beberapa aktivis lingkungan di kota Venesia selama beberapa tahun belakangan melakukan riset dan menentang pola turisme di Venesia yang setiap hari membuat kota berbentuk ikan ini, seolah menjadi lautan manusia. Belum lagi kapal pesiar yang keluar masuk di pelabuhan Venesia dianggap mengancam kelestarian bangunan-bangunan antik di kawasan tersebut.
Venesia juga memiliki masalah populasi yang absurd sebab kota ini sebagian besar gedung huniannya dihuni oleh turis. Warganya memilih menyingkir ke luar atau pinggiran kota karena harga rumah dan harga sewa terlalu mahal bagi warga lokal. Mereka yang memiliki properti di Venesia lebih suka menggunakan griya mereka untuk lahan bisnis persewaan penginapan bagi turis yang datang dari seluruh dunia.
Sekedar gambaran, tarif hotel di Venezia jauh lebih mahal dibanding di kota sebelahnya, Mestre. Agen perjalanan dan turisme memilih untuk mengambil penginapan di Mestre dan hanya perlu dua menit dengan bus atau kereta untuk melaju ke Venezia. Jauh lebih murah dibanding membayar biaya penginapan di Venesia. Minum kopi di Venezia juga termasuk mahal jika dibandingkan dengan harga secangkir kopi di kota lain. Harga dipatok berdasarkan posisi duduk atau berdiri dengan jenis klasifikasi pelayanan dan servis yang berbeda yang membuat beberapa turis segan minum kopi di kota kanal ini.
Sebelum pandemi, turis membayar gondola 80 euro per 6 orang dengan durasi perjalanan 60 menit dan kerap hanya dilakukan selama 20 menit saja. Kini mereka mengemis pada siapa pun agar mau memakai jasa mereka.
Tujuan turis datang ke Venesia pun kadang dangkal saja, hanya ingin berfoto di depan Basilika Santo Marco dan akhirnya banyak turis dan pebisnis sama-sama merasa kecewa dengan situasi ini.
Walhasil, ketika wabah merebak dan turisi dipaksa untuk keluar dari kota, pulau ini bagai pulau hantu, terkungkung dalam kesepian yang tiada tara. “Selama pandemi Venesia dikuasai oleh burung-burung camar,” demikian dikatakan oleh penggerak turisme dalam wawancara daring dengan Asosiasi Jurnalis Asing di Italia pada Mei lalu.
Jane da Mosto, yang mengepalai kelompok nirlaba “We Are Here Venice,” kepada CNN di Venesia mengatakan, pihaknya telah berjuang agar para pembuat kebijakan memahami manfaat pariwisata berkelanjutan bagi kota dengan meluncurkan kampanye untuk menjaga serbuan kapal pesiar besar-besaran dari pelabuhan bersejarah dan mempelajari kemungkinan-kemungkinan untuk mencegah banjir seperti yang dialami beberapa waktu lalu.
Dia melihat pandemi sebagai titik balik bagi kota, dan membayangkan Venesia baru muncul di dunia pasca-pandemi. “Venesia baru yang saya impikan setelah ini, ya seperti sekarang (lebih sedikit pengunjung) dan dengan lebih banyak penduduk,” katanya. Menurutnya, masalah bagi Venesia bukanlah kurangnya wisatawan, tapi karena kurangnya penduduk permanen.
“Dengan lebih banyak penduduk, kota ini akan lebih mencerminkan budaya Veneto dan gaya hidup yang indah yang ditawarkan kota luar biasa ini bagi pengunjung, sehingga di masa depan pengunjung dapat menikmati Venesia lebih mendalam,” ujarnya.
Selama awal pandemi hingga musim gugur, menjadi region yang paling berhasil menangani dan memberangus Covid-19. Pemimpin region memiliki inisiatif memeriksa seluruh penduduk desa Vo’ yang memiliki populasi dengan cek Swab, sehingga jadi referensi terpenting selain Korea Selatan. Region lain di Italia yang juga dianggap memiliki jumlah sample yang cukup banyak adalah Lombardia dengan ibukotanya Milan.
Venesia selain dikenal sebagai kota kanal, region ini juga memiliki kawasan pantai seperti Bibbione dan Jesolo yang disukai oleh turis dari Rusia, Jerman dan Amerika. Juga terdapat danau seperti Garda, sungai, dan pegunungan salju seperti Cortina serta kota industri kristal cantik Murano dan berbagai situs arkeologi yang masuk dalam warisan kebudayaan dunia.
Kerja keras Venesia sudah sempat memperlihatkan hasil, dimana turis lokal dan turis dari Jerman sudah kembali menggelar kain pantai dan membuka payung-payung mereka untuk menikmati hangatnya mentari dengan minuman lokal segar ‘spritz-prosecco’ (anggur soda) Valdobbiadene.
Penulis: Rieska Wulandari – Jurnalis, ketua Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia (ISKI) Cabang Eropa
Editor: Claudia Magany