Kami tampilkan cerita pendek dari tim redaksi, Claudia Magani yang memenangkan juara 2 dari “Sayembara Internasional Penulisan Puisi dan Cerita Pendek 2022” dalam rangka memperingati Bulan Bahasa. Selamat menikmati.
Dari Selembar Catatan Harian 2018.
Dinginnya angin yang menemani gerimis pada bulan Desember 2018, sangat mencekam. Walau kaki terbungkus kaos kaki tebal di balik dua lapis selimut wol dan selimut berisi bulu angsa, namun dingin tetap terasa menusuk ke dalam tulang.
Siapa pun yang terbangun dengan cuaca seperti ini, pasti enggan beranjak dari ranjang. Kalau pun dihidangkan secangkir kopi atau teh panas, mungkin akan meneguknya dari balik selimut yang tak ingin lepas jauh dari tubuh.
Pagi ini aku harus ke kantor polisi bagian imigrasi (questura) di kota Treviso. Untuk keluar rumah, apalagi berkendaraan umum ke kota yang berjarak 26 km, rasanya berat sekali. Hujan yang turun sepanjang malam, lumayan awet bersisa sampai pagi hari.
Bahkan sepertinya akan terus berlanjut sebab awan masih terlihat gelap. Pemandangan langit, cukup meresahkan diriku. Tapi aku harus pergi. Misiku sangat penting. Hari ini nasibku akan berubah selamanya. Hari ini adalah hari yang kutunggu bertahun-tahun selama tinggal di Italia.
Oh gerimis, kau janganlah menjadi alasanku untuk bermalas-malasan! “Ayo semangat, Claudia!!” bisikku pada diri sendiri untuk bangkit dari ranjang.
Jadwal yang dijanjikan questura, tertulis pukul 10 pagi. Tapi dari jam 07.00 aku sudah bulak-balik gelisah di stasiun kereta Oderzo. Padahal perjalanan dari kotaku ke Treviso hanya 30 menit. Pagi hari sebelum jam 09, hampir setiap 30 menit ada kereta Portogruaro-Treviso yang berhenti di stasiun ini untuk mengangkut segelintir penumpang, termasuk diriku.
Setelah jam 09, tak ada lagi kereta penumpang yang melintasi rel sepanjang 47 km ini. Nanti baru ada lagi sekitar jam 13 dan 14 yang membawa pulang anak-anak sekolah.
Kemudian jam 17, 18 dan 19 yang menurunkan penumpang dewasa bubaran dari kantor, toko atau pabrik. Payung kugenggam erat setiap kali kereta barang (cargo) melintas dengan kecepatan tinggi.
Setiap kali pula, wajahku basah terhempas air hujan yang terbawa angin. Percuma dandan cantik sebab akhirnya luntur. Terpaan hujan tertiup angin dari berbagai arah tak bisa kuhindari. Hujan. Basah. Angin. Dingin. Lanjut perjalanan kuteruskan dengan berjalan kaki menyusur tepi sungai. Kemudian berbelok ke kompleks perumahan, mencari jalan pintas. Seandainya hari ini cerah, aku tak keberatan berjalan kaki mengelilingi kota ini.
Pemandangan Treviso cukup indah dengan vila-vila yang tertata sangat asri. Enak dipandang sambil membayangkan kalau aku menjadi pemilik dari salah satu vila tersebut. Aku harus menghindari jalan raya utama sebab kendaraan yang lalu lalang di poros ini saling berlomba cepat.
Tak satu pun yang memedulikan pejalan kaki seperti aku yang sudah setengah kuyup. Ah, akhirnya terlihat juga deret gedung tinggi bertembok bata merah. Tampak anggun di kejauhan. Kontras dengan warna langit kelabu yang menjadi latar belakang. Area ex-Appiani yang didesain ulang oleh arsitek Mario Botta, tampil modern melengkapi kota Treviso yang masih memelihara gedung-gedung tua di sekitarnya. Bahkan tembok antik (le Mura) masih tegak berdiri mengelilingi pusat kota Treviso.
Sungai yang menjadi bagian dari tembok pembatas untuk melindungi kota dari serangan musuh, airnya juga masih deras mengalir. Bebek, angsa dan ikan trota juga menjadi bagian panorama yang mempercantik kota yang dikenal sebagai kota air.
Tepat jam 10.00 nomer C058 tampil di monitor yang menempel di dinding ruang tunggu. Satu setengah jam lalu waktu menarik lembar kertas antrean dari mesin tiket, tertulis catatan di bawahnya: 26 persone in coda (26 antrean) Berdampingan nomerku, pada kolom loket di monitor, tertulis 07 dari 15 loket yang berderet dalam kantor tersebut.
Namaku dipanggil. Tiba-tiba sejuta mata serasa menghunjam ke arahku dengan tatapan aneh ketika aku bergegas meninggalkan ruang tunggu. Menurut pengamatanku, mungkin orang Italia dalam kantor questura hanya 10% termasuk petugas lokal administrasi, polisi dan beberapa pengacara yang ikut mendampingi klien. Sisanya adalah orang-orang asing dari berbagai bangsa, termasuk aku. Mungkin juga hari ini, aku satu-satunya orang Indonesia yang harus berurusan dengan dokumen izin tingga. Tatapan ‘aneh’ mereka bisa kumaklumi.
Sebab secara pelafalan, namaku memang terdengar sangat Italiana. Claudia adalah nama yang cukup pasaran di negeri ini. Magani juga terdengar familiar di telinga mereka. Tapi pemilik nama ini ternyata ikut antrean mengurus izin tinggal. Mungkin itu yang mengherankan mereka. Petugas di balik kaca loket 07, sudah menyiapkan berkas untuk ditandatangani. ID Card yang menggantung di dadanya, tertulis nama Marco. Saat semua hampir selesai, dia menawarkan ‘citadinanza’ kepadaku.
Menurutnya, dokumenku sudah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi warga negara Italia. Tawaran ini entah sebagai protokol atau sekedar basa basi, aku sama sekali tidak tertarik. Petugas yang memiliki nama Marco itu, kembali membuka lembar demi lembar sambil menyimpulkan: “Bersuami Italia. Lebih 10 tahun di Italia. Ada ijazah Terza Media. Dua tahun berturut-turut berdomisili di tempat yang sama, tidak pernah pindah rumah dan alamat!” Lalu sorot matanya tajam menatap ke arahku menanti jawaban. Aku hanya membalas dengan senyum sambil menggelengkan kepala.
Tetap dengan senyum sopan, aku sampaikan terima kasih karena dia sudah mengurus semua dokumen. “Untuk ganti kewarganegaraan, maaf saya tolak tawaran Anda”, jawabku tegas dan berhati-hati. Marco tampak kaget mendengar jawabanku. Serta merta dia tertawa meledak sampai rekan-rekan kerjanya menghampiri loket 07 di mana kami bertransaksi. Dibantu angin yang menyusup setiap kali pintu geser dibuka, ledakan tawanya memantul lebih keras, sangat menarik perhatian.
Waktu dia menjelaskan bahwa aku menolak tawaran pindah kewarganegaraan, semua ikutan heran. Petugas lain ada yang berseloroh, bahwa kali ini ada orang asing yang menolak ditawarkan pindah menjadi orang Italia. Akhirnya rekan-rekan lain pada berkumpul dan mulai bertanya.
Aku diinterogasi. Ooops, mungkin lebih tepatnya ‘diwawancara’ sebab kalau interogasi, kesannya seperti seorang kriminal yang sedang diusut. “Mengapa tak mau ambil kesempatan ini?” celetuk seseorang yang tampak penasaran dengan diskursus yang sedang kami bahas. Dari meja lain, salah seorang rekan mereka memperlihatkan sejumlah tumpukan berkas permohonan untuk menjadi warga negara Italia.
Ada bertumpuk-tumpuk. Setiap tumpukan, menggunung tinggi. Entah berapa pemohon dalam setiap tumpukan. Itu pun baru dari satu meja. Dalam ruangan tersebut, ada beberapa meja yang penuh tumpukan. Wawancara pun dimulai. Siapa namamu? Dari mana asalmu? “Saya Claudia, orang Indonesia”.
Tiba-tiba ada suara dari meja lain yang bertanya: “Anda ganti nama karena bersuami orang Italia?” Oooops, pertanyaan ini bukan untuk pertama kalinya kudengar. Tapi untuk kesekian kali setiap berkenalan dengan orang sini. Karena mereka terlihat serius ingin mendengar jawabanku, kutarik napas panjang untuk menjaga emosiku yang mulai labil dengan tuduhan macam ini. “Claudia itu nama yang dipilih oleh mama menjelang kelahiran saya.
Tiap malam papa membacakan alkitab sebelum tidur untuk mencari nama anak bungsu mereka. Bayangkan tebalnya alkitab yang dibaca dari kitab Kejadian di Perjanjian Lama sampai Surat Paulus di Perjanjian Baru. Mama selalu menolak nama-nama sebelumnya. Mulai dari Eva, Sara, Rut bahkan Maria dan seterusnya. Tiba pada surat 2 Timotius 4 ayat 21, saat mendengar nama Claudia, konon kata mama, perutnya seperti ditendang oleh bayi yang sedang menunggu dilahirkan.
Akhirnya nama ini dipilih sebab tak lama sesudahnya, saya pun lahir. Lucunya, saya sendiri tidak pernah tahu nama ini. Sedari kecil saya selalu membahasakan diri saya dengan panggilan Ayi. Dalam bahasa Sunda, Ayi artinya ‘kecil’ atau bungsu. Padahal kakak-kakak dan orangtua memanggil Oudie sebagai kependekan dari Claudia.
Jadi waktu masuk sekolah, saya mengangkat tangan saat Bu Guru memanggil nama Ciu Ay Li, teman baru saya. Kala itu, ibu gurunya sempat bingung sebab ada dua murid yang mengangkat tangan. Karena hari pertama sekolah dan orangtua ikut mengantar, mama membisiki bahwa itu bukan nama saya. Giliran Bu Guru menyebut Claudia Magany, mama mengangkat tangan saya untuk mengacung.”
“Magani il tuo cognome?” seseorang dari meja lain di balik loket, memotong kisahku yang belum selesai. (Magani nama keluargamu?) Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Rekan kerja lainnya menimpali: “Il tuo nome Claudia Magani, sembra Italiano. Allora perché non hai cambiato la tua citadinanza?” (Nama Anda Claudia Magani, sangat Italia. Mengapa Anda tidak mengubah kewarganegaraan Anda?)
Ooops!? Lagi-lagi tawaran untuk pindah kewarganegaraan!! “Che lingua tu parli di tuo paese?” tanya Marco yang sejak awal sangat tertarik ingin tahu alasanku mengapa tak berminat pindah kewarganegaraan. (Bahasa apa yang Anda gunakan di negara Anda?) “Kami punya bahasa resmi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Lebih 400 bahasa daerah di negeri saya, belum termasuk dialek. Bayangkan pulau Jawa yang termasuk pulau terkecil dibanding empat pulau besar lainnya. Pulau ini dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu barat, tengah dan timur dengan 6 propinsi.
Antara barat dan tengah, sudah beda bahasanya. Bahkan dialek dalam satu propinsi pun berbeda satu sama lain. Misalnya di Jawa Barat, dialek Sunda orang Bogor dengan Sunda Garut, tidak sama. Belum lagi pulau-pulau lain. Ada lebih 17.000 pulau di negeri saya yang terhampar antara Samudra Hindia dan Pasifik, terapit antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Silakan klik google untuk mengeceknya,” jawabku dengan semangat ’45 yang mulai membakar emosiku kalau sudah bercerita tentang Indonesia.
Seseorang dari meja lain rupanya mengikuti saranku untuk klik google map. Suaranya terdengar riang sebab langsung menemukan peta Indonesia dengan mudah. Rekan lain ikut mengintip hasil temuan google. Serta merta berkomentar, “Saya lihat ada garis equator melintas di negara Anda. Bagaimana dengan iklim di sana?” “Aspetta, ho sentito la parola Sunda. Ma non ricordo cos’é,” Marco menyela pertanyaan rekannya. (Tunggu, saya mendengar kata Sunda. Tapi saya tidak ingat apa itu) Sebelum menjawab pertanyaan iklim, kucoba mengembalikan ingatan Marco dari salah satu buku roman sastra yang sempat menjadi bacaan wajib anak sekolah di sini.
Kebetulan aku juga pernah membaca roman ini. Sepintas membaca judulnya, terkesan agak vulgar dan sedikit horor. Il bacio d’una mortal. Secara harafiah, artinya ciuman seorang wanita yang sudah mati. Roman yang terbit pertama kali tahun 1886 adalah karya Carolina Invernizio.
Buku ini banyak dicetak ulang sebab menjadi bacaan wajib khususnya mereka yang memilih jurusan literatur. Dalam cerita, Nara adalah tokoh antagonis. Digambarkan sebagai wanita muda berprofesi penari yang sangat memikat hati banyak pria. Terlihat gemulai di panggung. Selalu tampil anggun, cantik dan sensual.
Tapi hatinya liar, busuk dan sangat kejam. Deskripsi lainnya, ia berasal dari Giava (Jawa) è una delle più grandi isole dell’arcipelago della Sonda (Sunda) (Jawa adalah salah satu pulau terbesar di kepulauan Sunda) Kira-kira seperti film Krakatau yang sering tayang ulang di stasiun televisi sini. Judulnya jelas tertulis Krakatoa Est di Giava. Padahal letaknya di Jawa Barat, bukan di Jawa Timur. Karena meletus tahun 1883, jadi bisa dimaklumi sebab tahun itu nama Indonesia belum terpikir oleh para tokoh pendiri negeri.
Seingatku, kala itu masih tertulis Sunda Besar dan Sunda Kecil dalam peta. Jadi saat kutebak pikiran dari pertanyaan Marco soal buku roman karya Carolina Invernizio, dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Lalu aku mencoba menjawab pertanyaan tentang iklim. “Indonesia adalah negara kepulauan yang dilintasi garis katulistiwa. Negeri tropis dengan dua musim, yaitu panas dan hujan. Matahari terbit jam 06, tenggelam jam 18. Setiap hari bersinar 12 jam secara konstan dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember, kecuali hari hujan. Jadi siang harinya 12 jam, malam hari juga 12 jam.”
Dalam ruang itu, ada enam petugas yang mendengar penjelasanku dengan sangat antusias. “Hanya dua musim? Bagaimana dengan salju?” salah seorang dari mereka bertanya. Aku yang sedang berapi-api menjelaskan geografis Indonesia, akhirnya tertawa lepas mendengar pertanyaan soal ‘salju’ ini.
“Kami tak mengalami musim seperti di Eropa. Memang ada salju abadi di pegunungan Jaya Wijaya di Pulau Papua. Tapi yang namanya musim salju, musim semi dan musim gugur, tidak pernah kami alami. Sepanjang tahun kami melihat pepohonan rimbun dengan daun hijau. Hanya di sini saya bisa melihat pohon gundul tanpa selembar daun menempel di ranting. Hanya di sini saya berbaju wol dan bersepatu tebal lengkap dengan jaket dan lain-lain. Di negeri saya, cukup beralas sandal, berbaju tipis tanpa jaket.” Sambil mundur beberapa langkah, aku memperlihatkan tampilanku yang mirip ondel-ondel Betawi. Badanku terlihat besar di balik sweater wol yang dilapis jaket, bersepatu boot dan sebagainya.
Keenam kepala ikut melongok dari balik jendela kaca loket melihat sosok yang telah menarik perhatian mereka. Karena keadaan sudah semakin bersahaja dan sepertinya mereka juga sudah tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, akhirnya aku sok akrab melanjutkan argumenku. “Saya di Indonesia berkarier sebagai wasit angkat besi. Teorinya, di negara mana pun, lisensi internasional saya diakui untuk bertugas memimpin pertandingan.
Sebab kami berlindung dari satu induk organisasi yang sama, yaitu IWF (International Weightlifting Federation). Namun sayangnya FIPE, organisasi angkat besi di sini mencantumkan salah satu persyaratan menjadi wasit, yaitu warga negara Italia. Sekalipun saya sudah melalui semua ujian sampai pada level paling tinggi, tapi persyaratan yang dituntut organisasi ini membuat saya mundur. Di satu sisi, saya ingin sekali bisa melanjutkan karier saya. Di sisi lain, saya tak ingin melepas kewarganegaraan saya demi karier walaupun cabang ini saya rintis dari nol di negeri saya.
Sungguh dilema buat saya. Antara karier dan nasionalisme.” Tiba-tiba bahasa Italiaku mengalir lancar kalau sudah membahas soal angkat besi. Mungkin karena bahasnya dengan emosi yang tiap kali bikin sedih membayangkan karierku mentok tak bisa dikembangkan di negeri ini. Terlihat mimik simpati mereka saat mendengar ‘ketentuan’ organisasi di Italia yang terkesan kaku, tidak fleksibel.
Seorang dari mereka menyeletuk: “Ya, di sini terlalu banyak aturan dan birokrasinya memang demikian. Apalagi sekarang kita menjadi bagian dari Eropa, tuntutan juga lebih banyak dan cukup pelik.” Tiba-tiba Marco mengambil inisiatif mengajakku masuk ke dalam kantor mereka untuk berbincang-bincang. Dia tanya kendaraanku, sekiranya tidak mengganggu, mereka ingin sekali mendengar langsung tentang Indonesia dari orang Indonesia. Kulirik arlojiku. Untuk mengejar kereta tengah hari sepertinya tak mungkin kalau jam segini masih di questura. Ya sudahlah, mungkin ini ‘misi’ seperti yang kubayangkan pagi tadi saat bangun tidur. Juga hari ini menjadi hari terakhirku mengunjungi questura. Anggap saja kesempatan besar untuk perkenalkan Indonesia kepada mereka. Bangku sudah ditata.
Marco juga menyiapkan secangkir kopi yang dibelinya dari mesin swalayan minuman. Rekan-rekan kerja lainnya ikut nimbrung dengan kopi mereka. Sambil menghirup aroma kopi, aku bertanya kepada mereka: “Pernahkah kalian melihat pohon kopi, pohon coklat, pohon lada atau pohon pala?” Mendengar pertanyaanku, mereka saling pandang satu sama lain. Ada ibu yang menjawab: “Saya pernah dikasih hadiah cangkir dengan pohon kopi. Tapi hanya sebagai hiasan, tidak boleh dikonsumsi.” “Betul, sekarang sudah banyak toko tanaman dan bunga yang menjual paket miniatur pohon kopi sebagai dekorasi. Tanaman ini hanya semusim, sebab tidak tumbuh di negeri subtropis. Tapi hebatnya, kalian sangat pandai mengelola kopi dan coklat, padahal lihat pohonnya saja tidak pernah!” jawabku sambil memancing dan juga memuji prestasi orang Italia yang memang aku akui kreativitas mereka sangat hebat. Negeriku mengusahakan perkebunan kopi, coklat, lada, pala dan lain-lain, tapi prestasinya hanya sebatas tukang kebun.
Kalaupun levelnya lebih tinggi, mungkin sebagai mandor kebun atau pemilik kebun yang pastinya harus punya modal besar atau mungkin warisan keluarga. ‘Ooops, jangan menghakimi, Claudia!’, batinku dalam hati. “Begitulah kenyataannya!” jawab ibu itu sambil melanjutkan “Marco Polo pergi ke Cina untuk belajar mengolah gandum. Kembali ke Italia, gandum dibikin pasta yang akhirnya mendunia. Colombo berlayar sampai ke Amerika.
Pulang membawa kentang, jagung, tomat dan sebagainya. Kentangnya dibikin gnocchi, jagung jadi polenta dan pizza rasanya tak lengkap tanpa pomodoro!” Wajah ibu ini terlihat sumringah karena sangat bangga dengan argumennya. Seorang lain menimpali: “Itulah kami. Negeri kami tidak sebesar negeri Anda. Karena keterbatasan wilayah dan juga iklim, maka kami harus kreatif dan inovatif.” “Ya, setuju dengan pendapat Anda,” jawabku sembari membayangkan betapa kayanya Indonesia.
Sedikit kekhawatiran muncul dalam benakku membayangkan rakyat Indonesia yang terlena dengan kekayaan alam. Mungkin banyak yang berpikiran seperti diriku yang bangga sebagai negara besar, negara kaya dengan berbagai sumber daya alam.
Tapi apakah aku kreatif dan inovatif untuk mengelola kekayaan alam yang ada? Mungkin untuk memeliharanya pun tak sanggup, apalagi mengembangkannya. Ya, semoga ada banyak SDM yang memikirkan hal ini. Lagi-lagi batinku bersuara.
“Ngomong-ngomong soal pohon, maaf ya saya bertanya soal pembakaran hutan dan isu tentang palma. Bisakah Anda menjelaskan kepada kami sebab media di sini sangat negatif mengaitkan isu ini dengan habitat orangutan?” pertanyaan seorang bapak yang ternyata sedang membaca berita-berita Indonesia di internet. Oh.. oh..!? Aku harus bijak menjawab pertanyaan bapak ini. Memang akhir-akhir ini banyak diulas tentang pembakaran hutan yang menggelisahkan negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Banyak aktivis seperti WWF yang protes karena berdampak negatif pada kehidupan orangutan. Sebagai akibat dari pemberitaan media-media di Eropa pada umumnya atau Italia pada khususnya, masyarakat dihimbau untuk memboikot produk kelapa sawit.
Sekarang, semua produsen mencantumkan label SENZA OLIO DI PALMA dalam setiap kemasan produk makanan. Bahkan beberapa produk kosmetik juga mencantumkan label ini. (TANPA MINYAK SAWIT) Mataku liar jelalatan melihat ke lantai. Ada yang mengira kalau aku sedang mencari sesuatu. Padahal aku sedang berpikir untuk mencari jawaban yang logis agar berterima dalam pemikiran mereka. “Sebelum menjawab, saya ingin bertanya pada kalian. Lantai di rumah Anda ada yang pakai parket?” tanyaku. Serta merta mereka menjawab,”Sì, certamente!” (Ya, tentu saja) “Ok. Tahukah kalian dari mana asal parquet di rumah kalian? Dari Indonesia. Tepatnya, dari Kalimantan atau Borneo, sebab kalian tahunya Borneo.
Orangutan umumnya tinggal di hutan-hutan di Borneo. Setahu saya, yang banyak dibakar itu hutan-hutan di Sumatra, pulau lainnya yang juga berdekatan dengan Kalimantan. Secara hukum permintaan dan penawaran, Italia adalah negara yang paling banyak memesan lantai parket kepada produsen kayu di Indonesia.
Kebetulan saya punya teman yang bergerak di bidang ini. Sebelum kemari, usahanya tutup sebab sudah tidak ada kayu untuk membuat parket. Sesuai komitmen, setiap mereka menebang satu pohon, mereka juga harus menanam pohon yang sama untuk peremajaan hutan.
Tapi butuh waktu yang lama untuk menumbuhkan pohon tersebut. Sementara, parket-parket yang menempel di lantai rumah kalian, adalah kayu-kayu dari pohon yang umumnya sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun usianya. Pohon-pohon tersebut memang layak ditebang sebelum tumbang karena usia, cuaca, dan lain-lain.
Dulu-dulu, ketika jumlah penduduk masih sedikit, permintaan parket belum banyak sebab jumlah rumah belum sebanyak sekarang. Sementara jumlah pohon di hutan Kalimantan juga masih ribuan. Tak seorang pun pernah mengkhawatirkan soal hutan gundul, erosi dan sebagainya.
Tapi kita semua tahu revolusi dari populasi penduduk Indonesia dan dunia saat ini. Akibatnya, sekarang harus dipikirkan soal keseimbangan alam. Namun harus dipikirkan pula soal perut.
Rakyat juga harus makan. Kalau harus menunggu sebatang pohon tumbuh untuk nanti ditebang dibikin parket, entah berapa tahun bisa terealisasi?
Mungkin si penanam dan keluarganya sudah mati duluan sebelum pohon itu berbuah. Tentang sawit, saya akui bahwa orang Indonesia umumnya doyan gorengan. Jadi kami mengkonsumsi sawit sebagai minyak goreng menggantikan minyak kelapa (coco). Sama dengan menanam sebatang pohon di hutan di Kalimantan, menanam satu pohon kelapa juga membutuhkan waktu yang lama untuk dipanen.
Pohon kelapa umumnya tinggi-tinggi dibanding pohon sawit. Keduanya sama-sama keluarga palmae. Jadi bentuk daun, akar dan batang agak mirip. Hanya bentuk buahnya saja yang beda. Di Italia juga banyak kok yang menanam sawit di halaman rumah atau tepi jalan. Hanya saja, kalian tidak tahu kalau pohon ‘hiasan’ inilah yang ramai dibahas. Toh kalian setiap hari makan pisang, nanas dan lain-lain tapi tak pernah melihat pohonnya. Lewat penelitian dan uji coba baik di laboratorium maupun lapangan, ternyata pohon sawit jauh lebih praktis.
Masa panen lebih singkat. Jadi sangat produktif, bisa menghemat waktu. Manfaatnya juga tak kalah dengan kelapa yang selama ini menjadi simbol kebanggaan kami. Tunas pohon kelapa itu menjadi lambang PRAMUKA di negara saya, karena makna filosofisnya sangat dalam.
Selain sebagai minyak kelapa, ampas dari sawit juga masih bisa dikelola menjadi produk lain seperti bahan bakar pengganti fosil. Dalam aplikasinya, justru ramah lingkungan dibanding bahan bakar tambang.
Hanya saja, mungkin masih banyak rakyat kami yang belum mendapat pembekalan soal pengolahan limbah dari produk ini. Semuanya masih bertahap. Secara pasti, rakyat Indonesia yang jumlahnya jutaan, sangat tertolong dengan usaha perkebunan sawit. Terbuka lapangan pekerjaan baru buat petani. Keluarga di rumah juga bisa menyambung hidup. Secara lingkungan alam, rakyat tetap menjaga kelestarian lingkungan. Selain petani, banyak buruh yang dipekerjakan di pabrik-pabrik minyak sawit. Sebetulnya ini persoalan negeri kami. Hanya saja karena asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan ikut mencemarkan wilayah sekitar, negara sekitar, jadi kami juga sangat menyesali kejadian ini. Soal pembakaran lahan, di beberapa wilayah kami memang bukan hal baru. Misalnya di Sulawesi Selatan, pulau lainnya di Indonesia. Petani membakar sawah setelah panen padi. Menurut mereka, sisa arang dari merang menjadi pupuk alami yang menyuburkan sawah mereka. Saya tahu hal ini karena saya pernah tinggal di pulau ini.” “Oh begitu ceritanya,” gumam ibu yang bertanya sebelumnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seorang lainnya menambahkan komentar: “Saya mengerti mengapa Anda tidak ingin melepas kewarganegaraan Anda. Negeri Anda sangat indah. Negeri Anda kaya. Negeri Anda besar.” Lalu seorang lainnya yang masih memantau google, ikut nyeletuk, “Jadi Bali itu bagian dari negeri Anda, ya?” Kali ini senyumku merekah lebih lebar dan bangga. “Ya, Bali salah satu dari 17.000 pulau di negeri kami. Nama Bali memang lebih terkenal dibanding nama Indonesia. Baru satu pulau Bali, masih banyak pulau lain yang tak kalah memikat. Silakan Bapak Ibu datang mengunjungi negeri saya untuk menikmati langsung suasananya. Makanan juga sangat beragam. Kebudayaan, sudah tak terhitung ragamnya.”
“Anda bilang dilema antara karier dan nasionalisme. Bagaimana dengan cinta, sebab Anda bersuami Italiano dan sudah tinggal lama di negeri ini,” seorang ibu muda yang sejak awal hanya mendengar, kali ini ikut bertanya agak serius. Ooops, pertanyaannya semakin menjurus ke hal yang agak pribadi. Dari nasionalisme, ke persoalan hati. Berarti aku harus hati-hati banget menjawabnya. Kulihat jarum jam di dinding sudah segaris lurus di bawah angka 12. Perutku juga mulai keroncongan.
“Tentang cinta, bagi saya dan suami, cinta adalah saling mengerti, menerima dan menghormati. Dia mengerti kalau saya sangat nasionalis. Dia menerima saya seadanya saya, dengan kelebihan dan kekurangan saya. Juga sebaliknya. Dan dia menghormati pilihan saya untuk tetap mempertahankan kewarganegaraan saya sebagai warga negara Indonesia. Saking hormat, dia juga ikut memakai baju batik dalam kesempatan tertentu. Misalnya peringatan Hari Batik Nasional setiap tanggal 02 Oktober. Dia sangat bangga berfoto memakai batik. Atau acara pertemuan dengan teman-teman Indonesia. Bahkan beberapa kali dia memilih kemeja batik saat tampil dengan grup band-nya di panggung. Dengan cara ini, dia ikut mempromosikan salah satu kekayaan budaya Indonesia lewat wastra atau sandang yang dia kenakan.”
“Batik?? Che cosa è?” tanya si ibu. (Apa itu?) Dari dalam tas, aku mengeluarkan secarik selendang batik yang selalu setia menemaniku. “Ini namanya batik. Salah satu karya budaya bangsa kami. Umumnya dilukis tangan memakai canting dan malam (lilin) yang dipanaskan. Lalu dilukis di atas kain mori. Tapi ada juga yang berupa cetakan. Baik tulis maupun cetakan, keduanya memakai ‘malam’ sebagai media untuk mempertahankan warna dasar kain, yaitu putih. Tapi bisa juga diberi warna lainnya. Umumnya pewarnaan batik itu memakai material alami. Dari berbagai daun, bunga, akar dan sebagainya. Setiap corak batik juga memiliki makna tertentu.
Proses pembuatan sehelai batik, membutuhkan waktu, konsentrasi dan kesabaran. Setiap helai punya nilai seni yang tinggi. Hasilnya, bisa menjadi baju, kemeja, taplak, sprei, hiasan dinding dan sebagainya. Kami menjadikan batik sebagai busana resmi seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Ada lagi kebaya, busana resmi nasional untuk wanita. Dan masih banyak lagi aneka busana daerah. Silakan intip google untuk info lebih rinci,” penjelasanku sepintas namun cukup panjang juga. Ibu muda ini mengangguk-angguk seolah setuju dengan jawabanku yang panjang lebar buat mereka dan mungkin terkesan sangat klise. Walau bahasa Italiaku tidak begitu lancar saat menjelaskan batik, tapi mereka senang mendengar bunyi kata-kata dalam bahasa Indonesia yang cukup akrab di telinga mereka. Tiap kali memang aku diminta mengulang beberapa kata yang menurut mereka, ada kemiripan bunyi dengan kosakata dalam bahasa Italia. Aku juga menjelaskan singkat soal tata bahasa Indonesia yang sangat sederhana dibanding bahasa Italia secara khusus atau Eropa secara umum. Mereka terbelalak heran ketika aku menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada perbedaan kata maskulin dan feminin. Tidak ada perbedaan waktu (tempo) seperti passato, presente dan futuro. Juga tidak ada perbedaan jumlah seperti singolare atau plurale. (lampau, kini dan akan datang) (tunggal, jamak) “Kalau ingin mengatakan ‘Saya pergi’ hanya tinggal menambahkan kata waktu. Misalnya saya pergi hari ini. Saya pergi kemarin. Saya pergi besok. Ibu pergi. Mereka pergi. Tetap kata kerja (verba) ‘pergi’ tidak berubah seperti verbo ‘andare’ dalam bahasa Italia yang berubah menjadi vado, andata, andrò, vai, andate dan seterusnya,” penjelasanku yang mendadak seperti seorang maestra depan murid-murid di kelas. Seperti kebiasaanku kalau sudah asyik berbicara, setiap selesai menjekaskan sesuatu, biasanya aku bertanya kepada lawan bicaraku, “Sampai di sini, masih ada pertanyaan?” “Ya! Bagaimana dengan persoalan politik di negeri Anda. Bagaimana peran wanita di sana, juga kerukunan agama sebab yang saya baca, Indonesia masuk 5 besar negara Islam di dunia?” masih pertanyaan bapak yang terus menyimak google. “Untuk politik, jujur saja saya sudah lama kurang aggiornamento untuk masalah ini. Sebab tak lama saya meninggalkan Indonesia, ada pergantian presiden. Setelah itu ganti lagi karena masa bhaktinya telah selesai. Pejabat menteri atau jumlah departemen dalam kepemerintahan juga beda-beda dalam setiap periode. Bahkan jumlah propinsi di Indonesia telah berkembang sampai lebih 30, saya sendiri kaget sebab waktu itu masih berjumlah 27 propinsi. Oh, waktu itu sudah ada tambahan Banten dan Bangka Belitung. (aggiornamento: memperbarui) Berkaitan peran wanita, tadi saya menyinggung tentang kebaya sebagai busana nasional. Kebaya mengingatkan saya pada Ibu Kartini tokoh emansipasi wanita Indonesia. Beliau memperjuangkan hak wanita untuk mendapat pendidikan setara dengan pria. Kalau di Italia ada festa della donna yang diperingati setiap tanggal 8 Maret, kami punya hari Kartini setiap tanggal 21 April. Banyak tokoh wanita Indonesia yang menjadi pejuang pada masa penjajahan dulu. Zaman modern juga banyak tokoh-tokoh wanita Indonesia yang mendunia. Lewat olahraga, khususnya cabang angkat besi yang sempat saya bina sebelum saya kemari. Ada beberapa nama atlet wanita yang sudah mengharumkan Indonesia di kancah internasional sebagai juara dunia dan olimpiade. Ada Sri Indriyani, Sri Winarni, Patmawati, Lisa Rumbewas, Sinta Darmariani dan seterusnya. Negeri kami juga pernah dipimpin oleh seorang wanita sebagai presiden, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri. Soal kerukunan agama, memang betul mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Kerukunan Kristiani di Indonesia dan di Italia, saya perhatikan agak berbeda. Kalau di negeri saya, antara protestan dan katolik sangat harmonis sebagai kakak beradik. Bahkan dalam tata ibadah mingguan, kami punya kesepakatan tema yang sama. Saya tahu sebab saya suka lintas gereja. Saya protestan. Hari Sabtu sore saya sering mengikuti misa di gereja katolik dekat rumah. Hari minggu pagi ke gereja protestan di GKJ (Gereja Kristen Jawa) juga dekat rumah dan sorenya ke gereja HKBP yang lokasinya saling berdekatan. Tema kotbahnya sama, tetapi isi berbeda sebab masing-masing pendeta atau pastor punya kebebasan untuk menyusun bahasa mereka,” sepertinya jawabanku yang kali ini menjadi penutup dari wawancara dadakan mereka. Dari balik jendela, di luar gedung sudah tak terlihat rintik hujan. Tak sadar lebih dua jam aku telah mengecoh pekerjaan mereka untuk mendengar celotehku. Mungkin lebih tepatnya disebut argumen. Serah terima dokumen sudah beres. Sudah tersimpan rapi dalam tasku. Sambil mengancingkan jaket dan memakai sarung tangan, aku permisi kepada mereka dengan menebar senyum yang dijawab dengan berbagai ucapan seperti auguri, bocca al lupo, congratulazioni maupun arrivederci, sebab aku tak akan kembali lagi ke kantor mereka. Hari itu menjadi kali terakhirku mengurus dokumen izin tinggal. Sebelumnya, setiap dua tahun aku harus berurusan dengan mereka untuk memperpanjang izin tinggalku. Setelah menikah, status izin tinggalku dari permesso di soggiorno menjadi carta di soggiorno yang berlaku 5 tahun. Dan setelah melewati masa ini, dokumen tersebut menjadi illimato atau izin tinggal tak terbatas. Alias ‘berlaku’ selamanya. Maka aku tidak perlu lagi bulak-balik berurusan dengan kantor questura. Ciao.. ciao questura! Aku bergegas setengah berlari. Sesekali harus melompat untuk menghindari genangan air di sepanjang jalan menuju stasiun bus Treviso. Aku sudah tertinggal bus jam 12.15. Jadi aku harus mengejar jadwal jam 13.15 sebab jadwal berikutnya jam 16.15. Berarti aku hanya punya waktu 35 menit. Kalau telat semenit, artinya harus menunggu sekitar 2 jam di stasiun bus. Dalam keadaan tergesa begini, pikiranku masih sempat membayangkan nyamannya negeriku nun jauh di sana. Aku meninggalkan Jakarta pertengahan tahun 2005. Kala itu masih seliweran bajaj merah yang suara berisiknya sangat khas. Tukang ojek di berbagai sudut jalan siap mengantar penumpang kapan saja. Kendaraan umum yang setiap kali lewat tanpa jadwal, saling balap berebut penumpang. Demikian juga taksi. Selama tinggal di kota Oderzo, aku tak pernah melihat taksi. Di Treviso dan Mestre (Venezia) masih ada taksi yang lalu lalang. Tapi kalau distop untuk mengantar ke Oderzo, mereka akan minta tarif dua kali lipat sebab kembali dari Oderzo taksinya kosong tanpa penumpang. Jadi langkahku dipercepat agar bisa tiba di stasiun bus sebelum jam 13.15.
Hujan telah reda sebelum aku meninggalkan questura. Tapi angin yang bertiup semakin dingin. Kalau terpaksa harus menunggu di stasiun bus, pasti jauh lebih dingin sebab di sana tak ada tembok pembatas yang menahan embus angin. Oh, aku rindu kampung halamanku. Aku rindu Jakartaku yang punya segalanya.
Persis jam 13.10 akhirnya aku tiba dan sudah duduk manis dalam bus yang perlahan beranjak meninggalkan stasiun menyusur via Postumia, jalan yang menghubungkan Treviso ke Oderzo. Missione compiuta! (Misi selesai!) Oderzo, 18 Desember 2018 Saat membaca lembar catatan harianku beberapa tahun lalu, mungkin ada banyak hal yang harus kuperbarui.
Dua tahun setelahnya, Italia menjadi sorotan dunia sebab setelah Cina, Italia adalah negara kedua yang terkontaminasi virus covid. Mama di Jakarta juga bercerita kalau bajaj merah sudah tidak seliweran karena diganti bajaj biru yang ramah lingkungan. Kendaraan umum yang ugal-ugalan dan mencemari udara, sudah tidak beredar lagi di Jakarta.
Sekarang transportasi jauh lebih nyaman dan aman. Jakarta sudah punya busway, jumlah kereta api cepat diperbanyak, lengkap dengan segala fasilitasnya. Jalan tol dibangun di mana-mana sebagai alternatif jalan darat yang dimanfaatkan warga untuk mudik. Perhitungannya, jauh lebih ekonomis dibanding perjalanan udara atau laut. Demikian pula pembangunan jembatan penyeberangan antar pulau. Dan banyak sekali pembangunan lainnya yang merubah wajah Jakarta selain ibukota yang akan berpindah ke Kalimantan. Perang Rusia-Ukraina yang pecah bulan Februari lalu, ternyata berlanjut terus.
Masih menjadi isu penting karena menyangkut perekonomian global. Dampak yang paling terasa, adalah Italia untuk menghadapi musim dingin yang akan datang. Tagihan air, listrik dan gas naik tidak tanggung-tanggung antara 200 sampai 400%.
Rakyat Italia mulai teriak ‘hutang’ dan lapar. Tapi masih harus tetap berbagi hidup dengan pengungsi dari Afrika, Asia dan sekarang Ukraina. Kalau pabrik dan perusahaan di sini sudah banyak yang tutup dan gulung tikar karena bangkrut, bukanlah isu aktual. Sebab kejadian ini sudah berlangsung lama, jauh sebelum masa pandemia dan pecah perang di negara tetangga.
Awal bulan Oktober biasanya pakaian kami sudah berlapis jaket. Tapi hari ini pun kami masih memakai kemeja tipis, sebab pancaran sinar matahari masih terasa hangat. Tahun ini musim panasnya panjang. Mungkin ini yang namanya keadilan alam. Sebab kalau sejak awal bulan kami harus memasang pemanas, entah berapa euro tagihan gas dan listrik akhir bulan berikutnya.
Pertanyaan lain yang juga belum terjawab karena masih walahualam adalah: “Akankah gas mengaliri pipa-pipa rumah tangga Italia untuk menghangatkan rumah warga?” Inilah dampak perang. Dampak Uni Europa. Dampak globalisasi. Rusia menutup keran gas termasuk ke Italia. Risiko tinggal di sebuah negeri subtropis. Harus mencadangkan dana ekstra untuk menghadapi musim dingin setiap tahunnya.
Di negeriku Indonesia, kami tak pernah hadapi persoalan seperti ini. Secara alam, mungkin persoalan banjir yang datang sesekali. Mungkin gempa, tsunami atau gunung meletus yang menurut BMG bisa diramalkan dan diantisipasi sebelum terlambat atau meledak.
Oh ya, selamat untuk Perdana Menteri Giorgia Meloni. Akhirnya Italia juga punya pemimpin negara seorang wanita. Sama seperti Indonesia yang sudah lebih dulu mempunyai presiden wanita. Media cetak dan elektronik sudah ramai membahas acara G20 yang akan berlangsung bulan November nanti. Nama Indonesia kembali disebut. Kali ini sangat positif. Nama Bali muncul kembali. Serta nama Presiden Jokowi sangat sohor disebut-sebut. Figurnya disorot dunia karena diberitakan akan menjadi mediator antara Vladimir Putin dan Volodymyr Zelensky.
Sudah banyak kepala negara Eropa yang ingin mendamaikan pemimpin kedua negara yang sedang bertikai. Tapi mereka justru memilih Indonesia. Apakah karena acaranya digelar di Bali dan mereka ingin melihat Bali? Apakah karena mereka tahu keramahan orang Indonesia? Atau karena keindahan negeri kita? Ah, siapa pun pasti bangga mendengar berita yang menyejukkan setiap hati yang mendengarnya.
Aku sangat yakin dan optimis bahwa Indonesia bisa! Pasti bisa dan memang bisa!! Semasa kuliah dulu, Ahmad Amiruddin yang kala itu menjabat sebagai gubernur Sulsel, pernah berceramah tentang tri konsep wilayah, yaitu komoditas, perubahan pola pikir dan petik olah jual. Ketiga konsep ini dilakoni dan menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia serta sebagai lumbung pangan nasional.
Konsep ini selalu menyentil dalam pemikiranku. Sebab dari ketiga konsep, yang tersulit adalah perubahan pola pikir. Diperlukan latihan seperti pepatah yang mengatakan alah bisa karena biasa. Karena itu, mulailah dengan melatih diri berpikir positif, aktif, kreatif dan inovatif untuk menciptakan hal-hal baru. Secara komoditas, negeri kita memang kaya dengan sumber daya alam.
Tapi jangan kita terlena. Mari proaktif untuk menjaga, melestarikan dan mereproduksi kembali kekayaan yang sudah disediakan alam. Indonesia memang hebat, sangat hebat dan paling hebat!! Itulah Indonesiaku di mataku!! Majulah Indonesia!!
Catatan tambahan beberapa terjemahan: – Questura: kantor polisi
– Area ex-Appiani: daerah bekas wilayah Appiani
– Le Mura: dinding – Citadinanza: warga negara
Itís hard to find knowledgeable people for this subject, but you seem like you know what youíre talking about! Thanks
Itís difficult to find experienced people for this topic, but you seem like you know what youíre talking about! Thanks
Thank you!
Thank you so much!
It is very comforting to see that others are suffering from the same problem as you, wow!
Thanks for thr great article!
Thanks for thr great article!
Thank you so much!
Thank you so much!
Thanks for thr great article!
Thanks for thr great article!
Thanks for thr great article!
You’re welcome