Dari kiri Ke kanan – Benediktus Arden, Barone (Giancarlo Capelli), Novia Goia, Franchino (Franco Caravita), Rieska Wulandari.

Foto-foto oleh Benediktus Arden.

MILAN,-

Milan Tahun 80-an, bagai kota gangster. Tindak kriminal yang brutal terjadi dimana-mana. Biangnya? Para fans sepakbola atau dalam Bahasa Italia disebut tifoso (tunggal) atau tifosi (plural) yang kerap terlibat baku hantam yang diawali dengan saling melecehkan dan saling menghina.

Situasi kota menjadi mencekam karena di Milan ada dua tim besar yaitu Inter FC dan AC Milan yang masing-masing pendukungnya cukup militan. Maka tiap akhir pekan, keributan selalu terjadi, yang disebabkan oleh konflik antara pendukung.

Tak pelak, korban luka, kerusakan sarana publik, hancurnya tempat usaha dan tak jarang rumah warga turut jadi korban sasaran kekerasan, bahkan hilangnya nyawa kerap menjadi puncak kekacauan ini.

Lelah dengan situasi yang tak nyaman, FRANCHINO nama panggilan Franco Caravita pemimpin fans Inter garis keras “Curva Nord 1969 Inter” pada tahun 1986 mencoba mengajukan pakta damai dengan rival abadi IL BARONE nama panggilan Giancarlo Capelli pemimpin “Curva Sud Milan”.

Keduanya sempat saya temui di sebuah toko kacamata milik pasangan Italia – Indonesia, di Milan, Andrea Goia dan Novia, Februari kemarin.

Pertemuan dengan dua tokoh bersejarah ini bisa terjadi atas prakarsa Inter Club Indonesia yang dimotori oleh Benedictus Arden Yang berprofesi sebagai notaris di tanah air.

Kedua pribadi gaek ini tampak bersahabat dan bertukar obrolan hangat, tak terlihat persaingan khas pemimpin fans antar klub, mereka bahkan saling berpelukan saat berjumpa.

Pada saya, Franchino menggambarkan suasana kota Milan tahun 1980-an sangat tidak kondisif. Ribut anak muda antar pendukung terjadi dimana-mana, dari mulai lingkungan sekitar sekolah, mall, pusat kota, hingga jauh ke pinggiran kota, ada saja yang ribut. Infrastruktur hancur, korban luka bahkan sampai tewas hanya karena sibuk membela tim, mengerikan!

Sementara konflik antar klub dengan korban nyawa ratusan juga sempat terjadi di Indonesia.

Tragedi menyedihkan ini juga terdengar sampai Ke Italia.

Arden menggambarkan sebagai klub bola internasional, Inter punya fans hingga 100.000-an di Indonesia, itu bisa terlihat dari angka pengikut akun klub official di media sosial.

Oleh karena itu menurut Arden, Milan bisa menjadi panutan dimana dua klub tifosinya, bisa mencapai kata damai meski rivalitas tetap ada.

BERANI

Sebagai unit kesatuan fans bola, Franchino mengatakan fans Inter di Italia di bawah komandonya langsung, sehingga sebagai “leader” dia merasa bertanggung jawab untuk membuat suasana menjadi lebih jernih.

“Membawa misi perdamaian itu butuh keberanian dan saya bersyukur pemimpin tifosi dari AC Milan juga menyambut pakta ini, tanpa sambutan mereka, perdamaian tak akan pernah terwujud,” ujarnya.

Menurutnya hanya orang-orang pemberani yang mengajukan damai dan sambutan damai menjadikan kedua belah pihak punya andil yang sama besarnya pada pakta perdamaian itu sendiri.

Franchino mengatakan situasi kondisif ini haknya khas terjadi di Kota Milan, karena di kota-kota lain di Italia, pemimpin fansnya tidak memiliki pakta serupa.

Walhasil jika ada pertandingan dengan tim tamu dari luar Milan, kadang masih saja ada tindak kekerasan atau kriminal dan vandalisme setelah pertandingan usai yang dilakukan oleh tifosi dari klub tamu.

Akibat kerapnya ribut gangster yang dimotori fans di seluruh Italia juga negara Eropa lainnya, maka, pihak kepolisian dan polisi militer Italia memperketat penjagaan sebagai antisipasi, salah satunya mewajibkan tifosi memiliki kartu keanggotaan dan mendapat kursi di tribun khusus untuk bisa “mengontrol” tingkah tifosi di stadion.

Di stadion San Siro, Milan, posisi mereka dibagi dalam dua tribun khusus, tifosi Inter duduk di belahan tribun Curva Nord (utara) sementara AC Milan di Curva Sud (selatan).

Polisi Italia juga menerapkan hukum yang berat bagi tifoso yang berulah, mulai dari denda, penjara, pencabutan kartu anggota tifosi sehingga di hukum banned tak dapat akses menonton di semua stadion di seluruh Italia.Sejak pengetatan sistem antisipasi, aksi brutal jauh berkurang di seluruh Italia. Belakangan aksi brutal terjadi kalau Italia kedatangan fans Inggris yang disebut hooligans. “Kadang sebal dengan stereotip tifosi yang dilabelkan oleh pihak kepolisian, tapi memang di luar Milan, pakta perdamaian antar klub tidak ada, jadi mau tak mau polisi harus ketat mengantisipasi keributan,” ujar Franchino.

RAHASIA MEWARISKAN TRADISI DAMAI

Dua pemimpin tifosi ini kini memasuki usia senja, namun setelah lebih dari 3 dekade menjaga perdamaian, mereka yakin spirit ini akan diwarisi oleh masing – masing fans dari kedua belah pihak.

“Mereka yang muda sudah tahu, tak ada faedahnya ribut di jalanan karena masa depan mereka akan jadi taruhannya. Kalau menang, rayakan dengan gembira, kalau kalah ya tundukan kepala dan pulanglah dengan jalan menunduk, berharap pertandingan berikutnya lebih baik, jangan cari keributan, ” ujarnya.

Ia menambahkan, olahraga juga merupakan kegiatan yang sakral, jangan dikotori oleh politik. “Yang paling penting, jangan kotori olahraga dengan hal-hal politik, saya pantang membicarakan politik di stadion,” ujar Franchino yang disambut anggukan Barone.

“Saya bisa konfirmasi bahwa Franchino tak pernah membicarakan hal-hal politik di stadion!” ujarnya. Curva Nord Inter seringkali diasosiasikan atau diberi label gerakan partai tertentu, khas Lombardia (Kota Milan adalah ibukota region Lombardia) tapi Franchino bisa menjamin gerakannya tak pernah dikotori politik atau jadi motor gerakan partai.

Franchino yang fans berat Inter ternyata memiliki Istri yang fans berat Milan. Tampak sekali perdamaian memang telah menjadi prinsip pasangan ini sejak dari rumah. Di sudut ruangan saya bisa melihat sorot mata istrinya yang memandangnya penuh bangga dan rasa cinta.

Milan, 1 Maret 2023.

One thought on “Menjaga Damai Dalam Rivalitas Militan Tifosi.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X