RI3SKA.COM – Pertama kali menginjakan kaki ke kota Turin pada tahun 1996, ketika mewakili delegasi dari Provinsi Bergamo untuk menghadiri konvensi perempuan Italia dalam rangka memperingati satu tahun konvensi perempuan sedunia yang diadakan di Beijing.
Saat itu, delegasi dari Bergamo terdiri dari 10 perempuan asli Italia dan 4 perempuan asing termasuk saya. Pertemuan dilaksanakan di dalam gedung teater yang sangat indah. Hotel yang disediakan oleh panitia dekat dengan gedung teater di tengah kota. Malam hari kota Turin begitu indahnya, mengkonfirmasi pendapat Le Corbusier yang mengatakan kota Turin adalah kota paling indah di dunia.

Tak kurang, Friederich Nietsze pun jatuh cinta dengan kota ini. Dia memang sempat melakukan liburan musim panas di kawasan ini. Saya pun jatuh cinta pada pandangan pertama. New York Times pada tahun 2016 lalu pernah menobatkan Turin sebagai salah satu dari 52 kota yang harus dikunjungi.
Kota Turin meninggalkan jejak sejarah pada kejayaan kerajaan Savoia, dengan rajanya yg terkenal Principe Umberto di Savoia. Mereka dikabarkan sedemikian kaya sehingga ketika monarki dihapuskan dan kerajaan Savoia dilebur menjadi bagian dari Italia, dinasti ini lari menyelamatkan diri konon dengan membawa kabur perhiasan emas dan harta karun ke luar Italia.





Dulu, kunjungan ke Turin, kerap saya lakukan karena mengikuti tugas suami. Turin selain terkenal dengan kota industri kendaraan roda empat seperti FIAT, industri textilnya juga sangat maju. Kali ini, saya beruntung kembali ke Turin karena ada undangan teman untuk berkunjung dan menginap di rumahnya yang hanya berjarak 55 km dari kota Turin. tawaran tersebut saya sambut dengan suka cita.
Dari Bergamo saya naik kereta api. Hanya dengan duduk manis sekitar 2,5 jam tibalah di kota tujuan. Duduk di kereta saya membayangkan suasana kota Turin periode tahun 50-an sampai 70-an, di mana saat itu “TRENO DEL SOLE” membawa ribuan imigran dari Italia selatan. Mereka datang dari daerah Sisilia, Napoli, yang kala itu sektor pertanian dan industrinya masih terbelakang dan serba manual.
Laura D. Milano penulis buku “Torino Tra Ieri e Oggi” pada tahun 1995 menulis, berduyun-duyun warga yang melakukan migrasi dari selatan ke utara ini membanjiri kota Turin. Kadang dengan jinjingan berupa koper dari karton saking miskinnya. Setiap hari ribuan orang membanjiri bagian depan stasiun Porta Nuova. Mereka datang untuk merubah nasib, dengan menjadi pekerja di pabrik FIAT.
Tiba di Turin, teman yang baik hati tadi telah menunggu di stasiun Porta Nuova. Begitu tiba kami menuju deposit bagasi dengan membayar €6 untuk durasi penitipan selama 6 jam. Dengan melenggang tangan kami berjalan menuju pusat kota. Saya tiba kira-kira pukul 2 siang, suasana kota menjelang Natal sudah sangat sibuk.
Kebetulan juga hari Sabtu, warga lokal keluar sekedar jalan-jalan dengan keluarga. Setelah hampir 1 jam kami melihat-lihat, kami mampir minum kopi di kafe Vergnano Sebuah kedai yang sangat terkenal. Usia kedai ini sudah sangat tua, tetapi tetap memikat karena dihiasi dengan interior yang cantik dan anggun.
Secangkir coklat panas saya nikmati dengan puas. Orang di jalan lalu lalang, di depan kami, dengan berbagai gaya busana. Suasana mulai ramai karena sebentar lagi Natal, banyak orang mulai berbelanja kado Natal.
Turin adalah kota yang kaya, perdagangan sangat maju. Keluarga-keluarga yang sukses dari industri, membangun kastil-kastil yang indah dan masih bisa kita kunjungi. Di tengah kota masih banyak kafe dengan interior kuno dipadu kursi beralas beludru mewah dihiasi dengan sandaran warna keemasan, tak lekang dimakan zaman dan masih ada hingga kini.
Terlintas di benak saya, sebuah lagu anak anak, “Torino, Torino che bella citta si mangia, si beve e bene stia” yang artinya : Turin..Turin adalah kota yang indah, makan enak, minum enak dan di sana pun hidup sangat enak.
Setiap datang ke kota Turin saya selalu membayangkan film-film Italia di tahun 80-an, ketika “boom” ekonomi di Italia selalu mengambil setting dengan mengambil gambar di tengah kota Turin lengkap dengan mobil Fiat model 500.
Kejutan di Luar Torino
Usai menikmati dan bernostalgia tentang Turin, kami naik bus menuju Bibiano. Kota ini mungkin seukuran sebuah kecamatan di Indonesia. Kecil tapi sangat indah. Kanan kiri jalan ada perkebunan apel. Sayang saya mampir di musim dingin, apelnya sudah dipanen sekitar akhir bulan September lalu, jadi pohon apel sudah tampak “gundul”.
Pada hari ke dua saya mendapat kejutan dan pengetahuan baru. Tidak jauh dari rumah teman saya, ternyata ada pabrik cokelat yang sangat terkenal, yaitu pabrik cokelat merek Caffare. Cokelatnya selalu tampil mewah dan enak sekali. Oh iya, bicara soal cokelat, daerah Piemonte terkenal dengan cokelat gianduia (baca: janduya) yaitu cokelat yang dibuat dengan campuran kacang hazelnut.
Dan hari ke 3 saya diajak ke rumah liburan mereka yang terletak di pegunungan. Biasanya rumah ini digunakan untuk liburan musim panas, tempat untuk mencari hawa yang lebih segar saat panas yang menyengat dan pengap menerpa kasawan yang lebih rendah. Di daerah pegunungan tersebut kita bisa melihat puncak gunung Monviso. Dari jauh sudah keliatan pucuknya sudah berwarna putih karena tertutup salju.
Monviso mungkin tidak memberikan bayangan apapun pada Anda, tapi jika anda pencinta film, Anda pasti ingat pembuka berupa citra gunung yang diproduksi oleh perusahaan film Paramount. Nah ada pro-kontra yang menyebutkan bahwa inspirasinya tidak lain dari gunung Monviso.
Namun, Paramount mengatakan, lukisan logo berasal dari sketsa tangan yang dibuat pada tahun 1914 oleh salah satu pendiri perusahaan, William Wadsworth Hodkinson. Tapi para seniman dan penggerak bidang perfilman di Italia menganggap lukisan itu tidak lain adalah tindakan plagiarisme.
Mauro Pianta jurnalis di Koran La Stampa, Italia pada 12 Februari 2011 menulis: “Lorenzo Ventavoli, sejarawan film dan presiden Festival Film Torino, mengatakan pada awal 1900-an, banyak sutradara Italia pindah ke Berlin, sementara para pekerja di sektor tersebut membantu perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.
Adalah salah satu pekerja yang berspesialisasi dalam skenografi, seorang emigran asal Piemonte (Turin adalah ibukota Region Piemonte), yang menyerahkan draf Monviso ke bagian materi iklan Paramount”. Tak hanya itu, ia menulis: “Beberapa sejarawan dan penulis lokal, seperti Flavio Russo, mengkonfirmasi: dua pekerja Saluzzese yang menunjukkan foto Monviso yang diambil dari rumah mereka kepada bos Paramount yang saat dikonfirmasi malah mengatakan tidak tahu menahu bagaimana gambar itu bisa dipakai oleh rumah produksi film tersebut.
Terlepas dari pro dan kontra kisah plagiarisme itu, jika Anda perhatikan wajah gunung Monviso tak lain, akan terbayang logo Paramount dan vice – versa setiap kita melihat pembuka dalam setiap karya Paramount, maka wajah indah sang Monvisolah yang akan muncul.
Coba Anda perhatikan foto diri saya dengan latar bekakang gunung ini, mirip tidak?
Penulis: Tatik Mulyani