RI3SKA.COM – Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita mengenai pejabat yang diperkirakan memanfaatkan situasi pandemi melalui perusahaan yang menyediakan pengadaan alat test PCR (polymerase chain reaction), yang mengakibatkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pejabat yang berkaitan dengan pemberitaan ini, menjelaskan bahwa perusahannya adalah Social Enterprise (SE) dan tidak ada niat untuk memperkaya diri sendiri.
Apa itu SE dan mengapa SE justru dianggap sebagai salah satu bentuk perusahaan yang dapat memberi titik terang di tengah berbagai kemelut masalah sosial? Jurnalis senior Feri Latief menyempatkan diri untuk mewawancara pakar dan pelaku Social Enterprise Ari Sutanti yang saat ini menjabat sebagai Senior Programmes Manager di British Council Indonesia. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus lalu (sebelum kasus ini muncul).
Ari mengatakan dalam sejarahnya, SE merupakan sebuah jenis perusahaan yang didirikan sebagai upaya menjawab masalah-masalah sosial yang muncul dan harus segera diatasi dengan sigap dan cepat. Kendala terbesar dalam menyelesaikan masalah terkadang karena adanya birokrasi yang panjang atau karena tidak adanya organisasi yang fokus pada masalah tersebut.
Ia mencontohkan organisasi Muhammadiyah merupakan contoh nyata sebuah SE yang telah berkiprah selama 111 tahun di Indonesia, dimana organisasi keagamaan ini mencoba membantu masyarakat yang tidak memiliki akses kepada pendidikan dan kesehatan.
Muhammadiyah masuk dalam kategori SE karena karakteristiknya yang bekerja sebagai badan usaha mandiri dan keuntungannya dimanfaatkan untuk membangun organisasi dan mewujudkan fasilitas sosial bagi masyarakat banyak antara lain sekolah dan rumah sakit.
“Muhammadiyah bergerak tanpa donor, jadi kalau mau buat sekolah atau membuat fasilitas kesehatan harus urunan atau dengan memutar keuntungannya atau di “re-investasikan” lagi untuk kegiatan sosial tersebut,” ujarnya.
Perusahaan SE banyak bermunculan di UK. Koki kenamaan Jamie Oliver adalah salah satu bintang program kuliner yang menggunakan model SE untuk mengatasi masalah akses dan keterampilan bagi anak-anak muda yang ingin menjadi chef tapi mengalami hambatan.
Atas keprihatinan itu, Jamie membangun Fiveteen, sebuah perusahaan yang memberi kesempatan pada anak-anak muda, dengan program setiap enam bulan menerima 15 anak untuk belajar jadi Chef dengan teori kemudian 6 bulan praktek, magang dan sebagainya.
“Tujuannya agar anak anak yang keluar dari penjara, tidak sekolah dan tak punya rumah bisa punya pekerjaan dan bisa berguna dan mandiri, dan keuntungannya ini kembali untuk membangun perusahaannya (untuk mendidik anak-anak muda),” ujarnya. Sayangnya perusahaan ini tutup pada April 2021.
Selain itu, perusahaan bis merah yang sangat identik melambangkan London, juga merupakan salah satu jenis perusahaan SE yang laba perusahannya digunakan untuk membangun fasilitas transportasi publik dan angkutan spesifik bagi manula yang membutuhkan jasa antar ke rumah sakit atau farmasi dan tidak mampu membayar taksi yang biayanya sangat mahal.
Selain itu juga ada Belu yaitu produk air minum yang keuntungannya dimanfaatkan untuk membangun perusahaan dan membangun jaringan air dan sanitasi di Afrika.
Pada SE, maka keuntungan dan tujuan sosial menjadi nilai bonus tapi tidak berarti kualitas barang dan jasa dari perusahaan ini rendah atau kompromi dengan kualitas. Sebaliknya justru kualitas menjadi salah satu tonggak utama, misalnya restoran “Koto di Vietnam yang menyajikan fine dining dengan merekrut anak-anak muda yang tidak punya kesempatan (https://www.youtube.com/watch?v=JHtyjTO_g08).
Apa perbedaan SE dan CSR?
Social Enterprise (SE) memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan CSR yang merupakan kegiatan sosial dari perusahaan tertentu. Adapun perbedaan spesifik antara lain: secara de facto perusahaan ini harus otonom dan tidak dikuasai negara. Punya tujuan sosial yang jelas dari awal dan hanya fokus pada komitmen tujuan sosialnya. Mendapatkan income dari hasil usahanya dan bukan dari donor atau charity. Keuntungannya harus di re-investasikan kembali pada pengembangan perusahaan sesuai tujuan sosialnya. Harus memiliki sistem pelaporan yang dijamin akuntabilitasnya, transparan dan bisa diaudit dengan mempraktekan tata kelola yang baik. Pembagian deviden diperbolehkan asal fungsi sosialnya tetap berjaan.
Lembaga amal identik dengan lembaga yang “merugi” sementara sebaliknya SE justru harus dikelola profesional karena diharapkan keuntungannya dapat menjadi sumber dana yang dapat diputar untuk mengembangkan misi dan fugsi sosialnya.
Dalam lembagai ini, investor pun tdak akan kehilangan dana yang diinvestasikannya diharapkan bisa berkembang, namun juga bisa ditarik sewaktu-waktu, sehingga manfaatnya berganda, yaitu investor tidak kehilangan dana, dana tersebut bisa dimanfaatkan bergulir untuk kepentingan banyak orang dan bahkan pada periode tertentu bila tujuan sosialnya sudah tercapai dan sesuai dengan perjanjial awal pendirian, investor bisa mendapatkan dividen sesuai perjanjian.
Di Inggris menurutnya, lazim bila sebuah koperasi masuk dalam kategori SE mengingat banyak sekali sektor kreatif, yang bergerak dalam industri kreatif dan mendorong inovasi sosial.
Salah satu sektor yang memberikan kontribusi samgat besar yaitu desain, musik dan film. Tahun lalu sektor ini memberikan kontribusi sebesar 20 Miliar Pound dan memberikan 3 juta pekerjaan baru.
Palang merah Afrika juga turut menjalankan SE dengan membuat penginapan untuk wisatawan dan dana keuntungannya digunakan kebutuhan darurat masyarakat.
Di Italia, tepatnya di tepi danau Garda, muncul pula restoran Desenzanino (https://desenzanino.it/) yang sengaja merekrut pemuda dan pekerja yang tidak memiliki akses, sebagai salah satu upaya untuk membantu ekonomi kaum tidak mampu.
Di Indonesia, gerakan SE mulai bermunculan dari gerakan komunitas menjadi Social Enterprise, contohnya Gandeng Tangan (https://gandengtangan.co.id/), Socrates, Amartha (https://amartha.com/id_ID/) dan Jaringan Ekowisata Desa di Bali, yang misinya membangun sektor pariwisata dan sekaligus melindungi kebudayaan lokal.
Dompet Dhuafa salah satu contoh SE, karena membantu korban bencana harus cepat yang menampung dana dari perusahaan yang memiliki charity untuk menyalurkan kepada yang membutuhkan.
Majalah Trubus didirikan oleh yayasan sosial Swadaya dan salah satu latar belakang mendirikan trubus karena pelatihan untuk petani itu sulit, padahal mau swasembada. Dia membuka usaha, menjual bahan tanaman, wisma hijau adalah tempat yang dibeli oleh bina swadaya sehingga dimanfaatkan untuk pelatihan dan uangnya dimanfaatkan utuk pelatihan di desa dan sebagainya. Di Bali juga cukup banyak.
Gandeng Tangan yang didirikan oleh Jessy Setiawan, cucu mantan menteri lingkungan hidup Emil Salim, mencoba menjawab kebutuhan pinjaman uang untuk modal usaha masyarakat desa, Socrates, Amartha yang tadinya berupa koperasi namun berubah menjadi PT dan SE untuk menjawab kebutuhan pelatihan dan modal usaha pada masyarakat yang tidak memiliki akses.
Ari mengatakan inisiatif anak muda membangun SE ini perlu diapresiasi karena mereka inggin membuat perubahan, tidak punya rasa takut dan memahami teknologi untuk bisa memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah sosial.