RI3SKA.COM – Sedih rasanya mendengar berita Ali Joya, seorang pengungsi Afghanistan yang mengambil jalan bunuh diri justru ketika Ia tiba di tanah harapan bernama Indonesia. Berita menyedihkan itu, membuat saya semakin remuk setelah membaca komentar netizen yang kurang lebih berkata: “Pemerintah Indonesia sudah sibuk dan bingung mengatur penduduknya sendiri, boro-boro mengurus pengungsi”.
Suara netizen tersebut mendapat simbol suka dari sekian ratus pembacara, di antara perasaan hati yang remuk dan miris, komentar netizen tersebut saya akui ada benarnya, secara fakta, negara kita sudah repot mengatur negara sendiri. Tapi secara azas kemanusiaan, imigran pun sebetulnya memiliki hak untuk hidup dan mendapat akses sehingga Ia bisa menggapai cita-citanya. Itulah esensi dari migrasi dan perlindungan bagi para imigran.
Saya bercermin pada diri saya, ketika saya menjadi imigran di Italia, saya mengikuti sebuah seminar tentang fenomena imigrasi di Italia, salah satu pembicara mengatakan bahwa ketika seseorang bermigrasi, keadaan status sosial orang tersebut tidak akan serta-merta melonjak naik, bahkan di lapangan yang terjadi justru sebaliknya.
Orang bermigrasi karena ingin hidup yang lebih baik. Motivasi orang bermigrasi macam-macam, ada motif penugasan kerja, tugas akademik, atau mencari suaka politik karena di negaranya pecah perang atau konflik politik. Pelaku imigrasi bisa lelaki atau perempuan, khusus isu ini, saya akan membahas imigran perempuan.
Lembaga pusat statistik Italia, ISTAT per 31 Desember 2019, menyebutkan di kota tempat saya tinggal, yaitu Bergamo, terdapat 10.7% merupakan imigran dan sisanya adalah Bergamasci (istilah untuk orang Bergamo asli). Imigran dari Indonesia tercatat 34 orang atau 0,02 % dari populasi imigran terbesar lainnya adalah dari Maroko, Albania, Rumania, Bolivia.
Kata imigrasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah perpindahan satu penduduk dari satu negara ke negara yang lainnya. Meskipun untuk telinga orang Indonesia ada yg sedikit keberatan kalau disebut “kaum imigran” karena konotasinya terbatas pada pekerja migran. Tetapi menurut para sosiolog, tidak ada perbedaan, karena yang ada adalah ada sebagian dari imigran yang datang dengan kemudahan–kemudahan misalnya karena perkawinan. Faktanya, kebanyakan perempuan Indonesia yang pindah ke Italia adalah karena faktor perkawinan, sementara motif lain seperti bekerja dan studi memang lebih sedikit.
Kita harus memberikan empati kepada para imigran, mengapa? Sebab para imigran, ketika berpindah negara, termasuk dengan alasan perkawinan, maka akan kehilangan status yang dimiliki sebelumnya. Misalnya orang Indonesia yang pindah ke Italia dengan latar belakang pekerjaan pengacara, wanita karir, jurnalis, perawat atau dokter, bahkan pemilik usaha, ketika datang ke Italia, orang tersebut menjadi “bukan siapa-siapa”.
Kebanyakan perempuan ini tak mengenal banyak orang dan bahkan pekerjaannya tidak bisa dilanjutkan karena memerlukan banyak penyesuaian seperti akreditasi dan sertifikasi yang sangat rumit dan berat bahkan untuk orang Italia sekalipun. Akhirnya para perempuan tersebut, hanya bisa menyandang status: Signora X (Nyonya X) karena datang ke Italia atas dasar ikatan perkawinan dengan Signore X (Tuan X) Untuk pria, agak berbeda karena biasanya mereka langsung bekerja atau masuk dalam siklus sosial di hadapan publik.
Untuk kaum perempuan ada tuntutan lain, yang harus dijalankan, misalnya harus berkutat dengan keluarga, anak-anak, dan berbagai tetek bengek lain dalam ranah domestik. Tuntutan lain ini menjadi semacam kendala buat kaum perempuan, tak jarang mereka menjadi merasa kesepian dan tidak bahagia.
Jika dibiarkan mengendap terlalu lama dan berkepanjangan bisa menjadi pemicu psikosomatis yang ditandai dengan rambut rontok, gatal-gatal, menstruasi tidak teratur, pusing kepala dan sebagainya. Kasus depresi hingga bunuh diri, seperti yang dialami imigran Afganistan di Indonesia, jelas merupakan kasus yang sangat berat dan amat disayangkan, juga bisa menjadi preseden buruk bahwa negara kita tidak bisa melindungi hak-hal imigran.
Untuk mengantisipasi hal-hal di atas, sebaiknya kaum perempuan membuat relasi seperti jaring laba-laba berbasis empati. Kuatkanlah jaringan sosial, pupuk azas kolaborasi dalam spirit pertemanan, jalin relasi yang baik dengan keluarga pihak suami, dan hal-hal yang positif yang bisa menimbulkan rasa bahagia.
“Kehilangan identitas “ menjadi suatu kekuatan untuk dihadapi bersama. Jangan malah saling memusuhi jika ada pendatang yang masuk, apalagi membully dan mencelakai berlandaskan dengki dan iri hati karena seseorang sudah punya profesi dan latar belakang tertentu, yang lain malah menghambat dan menyabot agar karir sesama imigran hancur. Coba terapkan prinsip, jika satu imigran maju, maka yang lain pasti ikut maju.
Kaum imigran harus belajar untuk berpadu, karena menjadi kaum minoritas maka ada kecenderungan untuk bergaul dengan sesama dari negara asal. Tapi itu tidak cukup, sebagai imigran, bukalah wawasan dan bergaul dengan sebanyak mungkin orang, buka dan perlebar jaring – jaring sosial kita dengan penduduk lokalnya juga, misalnya bergabung dengan kegiatan kebudayaan, aksi sosial di sekolah, perhimpunan orang tua murid, asosiasi profesi dan sebagainya.
Menurut pengalaman saya pribadi bergaul dengan teman perempuan dari Italia atau negara-negara lainnya bisa menambah kekayaan batin dan memperkaya pengalaman. Semakin ragam pergaulan, semakin banyak perbedaan –perbedan yang dihadapi, tapi pada saat yang sama, kita mendapat cara pandang dan perspektif baru tentang budaya, bahasa, kepercayaan, masakan, kebiasaan dan adat istiadat bangsa lain dan ini menambah kecerdasan sosial kita.
Menemukan Etiket Baru
Bergaul dengan orang asing, membuat kita mendapat etiket pergaulan baru, sekaligus juga ingat kampung halaman. Misalnya, saya terkejut ketika mendapati tradisi arisan ternyata juga dilakukan oleh ibu-ibu asal Senegal namanya tradisi tin-tin, juga di Bolivia. Tetapi arisan pernah menjadi pertanyaan untuk teman wanita dari Italia, mereka selalu punya pola pikir antisipasi dan keamanan yang bergaransi kepastian, sehingga muncul pertanyaan:
“kalau yang dapat putaran pertama menghilang, mundur atau tidak mau membayar kewajiban iurannya, bagaimana?” Ya, saya jawab biasa terjadi di Indonesia, biasanya ada sangsi sosial pada pelakunya misalnya dikucilkan dan dikeluarkan dalam lingkup pergaulan.
Pada saat bergosip, orang Italia akan berkata “Kita tidak bisa membicarakan pribadi A, bila orangnya tidak ada di tempat dan dia tidak bisa membela diri,” maka acara gosip pun berhenti.
Waktu berkunjung juga sangat berbeda, kita biasanya berkunjung hanya untuk minum teh atau minum kopi, kalau pun sesekali dapat undangan untuk makan siang atau makan malam. Itu sangat jarang, kalaupun ada undangan makan, biasanya bertemu langsung di restoran, bukan di rumah pengundang.
Sementara, dalam budaya pertemanan dan undangan makan di Indonesia, lebih fleksibel waktunya, bisa berlangsung berjam-jam dan bahkan kadang kita pun dapat oleh-oleh dari sang tuan rumah.
Lokasi bergaul pun dipilih sangat selektif, misalnya bersama dengan teman-teman non Indonesia, biasanya kami bertemu, di perpustakaan lokal.
Bersama-sama mencari dan pinjam buku setelah itu ngobrol-ngobrol sebentar sambil minum kopi. Kadang juga janjian untuk olahraga bersama di taman kota dan setelah itu ngopi-ngopi atau mampir ke pasar tradisional, itupun tidak lama, sekitar 1 jam. Bagi mereka yang terpenting adalah kualitas waktu, bukan kuantitasnya.
Orang Italia juga membutuhkan proses yang panjang untuk menjalin pertemanan, misalnya bila dia sudah ada saat Anda senang dan sekaligus mendampingi di saat sedih, berarti Anda sudah dianggap teman dalam arti yang sebenarnya.
Ini pengalaman ketika suami saya meninggal, mereka menjemput saya di airport saat saya tiba kembali di Italia, selama tiga hari, mereka silih berganti menyambangi dan menemani saya, membawa saya mengunjungi macam-macam variasi tempat agar saya terhibur dan tidak merasa terlalu merana dan kesepian dalam hari-hari yang berat itu, mereka menemani saya, tanpa saya minta.
Dan saya ikut bangga dan senang dengan teman-teman yang berasal dari Indonesia, terutama mereka yang bisa memasuki dunia pekerjaan. Saya tahu persis ini tidak mudah bagi imigran perempuan asing, untuk mendapatkan pekerjaan. Karena sebagai imigran, ada semacam tuntutan kemampuan atau prestasi lebih dari pada penduduk lokalnya.
Kebanyakan kaum perempuan Indonesia yang menikah dan mengikuti para suami pindah ke Italia, menghadapi kendala utama yaitu bahasa. Kursus bahasa tidak cukup, karena kemudian diikuti dengan kursus mengemudi, Indonesia mengemudi di sebelah kanan, Italia di sebelah kiri. Belum lagi jika punya anak kecil kendalanya berlipat. Sudah lulus kelas bahasa dan lulus ujian SIM, para ibu masih harus mendampingi anak-anak sampai cukup usia untuk masuk penitipan anak.
Sementara, usia bertambah dan dalam persaingan memasuki dunia kerja di Milan misalnya, usia 40 tahun sudah sulit masuk dunia kerja. Tragis dan ironis sekali. Jadi bagi para pembaca yang ingin pindah ke Italia, buatlah rencana dan strategi yang matang!
Menjadi sukarelawan di lingkungan merupakan salah satu cara untuk bergaul, misalnya menawarkan diri menjadi relawan di perpustakaan lokal dan berkenalan dengan petugasnya. Suatu hari, saya berinisiatif mendongeng untuk anak-anak balita tanpa dipungut bayaran.
Sebelum pindah ke Italia saya bekal buku-buku dongeng dari Indonesia dan mereka menyambut dengan hangat inisiatif ini. Perpustakaan juga gudang ilmu karena sering ada kursus misalnya kursus origami, membuat hiasan natal, yoga, seminar, kunjungan rombongan ke museum dengan subsidi dari kotamadya, sangat menarik dan menyenangkan.
Saya juga memberikan inisiatif membantu acara penggalangan dana perlindungan bagi korban KDRT, saya menawarkan diri membuat bala-bala dan pisang goreng. Kontribusi kecil ini, membuat saya dikenal sesama warga dan setiap ada acara, diajak serta.
Jadi akses kita terbuka, karena kita juga rajin membuka jaring laba-laba kita yang berbalut empati dan kasih sayang kepada sesama.
Salam empati dan kolaborasi.
Penulis: Tatik Mulyani
Editor: Rieska Wulandari