Berbeda tapi slalu beriringan,
Berbeda tapi slalu sejalan
Bila sendiri trasa sepi,
Bila sendiri tiada berarti
Justru sama kan hilang makna,
Justru sama kan datang petaka.
RI3SKA.COM – Tiga bait sajak, tertulis di atas lukisan sepasang sandal. Secara warna, bisa ditebak bahwa pelukis dan penulis sajak ini, pastilah seorang wanita. Kalau dicermati, pelukisnya memilih jenis sandal sport yang bisa dipakai kaum lelaki dan wanita. Model sandalnya dipilih yang umum dan mudah dikenali sebab berkategori internasional dan termasuk model abadi sepanjang jaman.
Lukisan dan sajak yang tersusun apik secara komposisi dan indah secara goresan warna, bermakna sangat dalam untuk menggambarkan kehidupan berumahtangga pasangan suami-istri. Paduan seni filosofi ini adalah karya Era Dewi Setiyowati (46 tahun), wanita asal Batang, Jawa Tengah.
Terpengaruh lingkungan dan profesi ibunda yang menjadi “dukun manten/perias pengantin” di kampung, maka urusan pelaminan seperti kembar mayang, gebyok dan semacamnya, sangat akrab dalam kesehariannya.
Suratan takdir, Bu Dewi (panggilan akrab) yang badannya terasa sakit, pusing dan ‘cranky’ kalau harus diam tanpa aktivitas, berjodoh dengan diplomat yang secara profesi tidak pernah menetap lama di suatu negara. Karena itu, sarjana kimia lulusan universitas Brawijaya, memilih karier ibu rumah tangga penuh (full time house wife) setelah berpikir matang dan mempertimbangkan banyak hal.
Bukan berarti istri diplomat tidak boleh berkarier, tetapi lebih karena alasan pribadi sebab penugasan pindah negara bisa terjadi kapan saja. Maka ia harus siaga mengemas barang dan beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang sama sekali baru. Sigap, fleksibel dan kreatif adalah tuntutan umum istri diplomat untuk bisa melebur dalam masyarakat di mana mereka ditempatkan.
Bagi sebagian orang, mungkin hal ini dianggap tantangan, namun bagi Bu Dewi merupakan kesempatan untuk mengembangkan hobi dan minat. Misalnya memasak aneka makanan khas Indonesia, main musik gamelan, angklung, membatik dan mendekorasi pelaminan dengan bahan seadanya.
Semuanya sangat dinikmati sebab ia memang senang menggali kreativitas yang berkaitan dengan “Indonesia” untuk ditampilkan sebagai budaya bangsa yang patut dibanggakan.
Ibu dengan 2 anak gadis dan putra yang menjelang remaja, tiba di Italia bulan Februari tahun lalu. Sebelumnya, bermukim di Belanda ikut suami bertugas. Di negeri kincir angin ini, ia sempat belajar melukis, rajut dan decoupage (seni menempel kertas tipis/tisu dengan berbagai teknik dan media).
Mesir dengan ibukota Cairo adalah negara pertamanya mengikut suami bertugas. Di negeri ini, ia tidak sempat mempelajari kriya khas sana sebab sibuk berorganisasi dengan banyak kegiatan. Kembali ke tanah air (2009-2012), mulailah ia mencari kesibukan yang masa itu hanya bisa menelusur dunia maya sebatas laman multiply dan facebook.
Hasil berburu ide makin terpacu saat menemukan komunitas Wire Jewelry atau seni merangkai kawat di kanal Multiply yang tergolong kreasi baru untuk masa itu. Belum banyak pemain di dunia wire jewelry ini. Maka ia memutuskan untuk berkenalan lebih jauh sampai akhirnya benar-benar jatuh hati dengan kriya yang membutuhkan keterampilan jemari untuk bisa menari dengan luwes merangkai bebatuan dan kawat.
Komunitas ini, menjawab semua pertanyaan yang ia butuhkan, termasuk belanja bahan material, belajar teknik, menampilkan karya bahkan cara kemas, kalkulasi modal dan pemasaran. Karya pertama yang dipajang di media sosial, mendapat sambutan positif yang membuat Bu Dewi tambah semangat untuk terus berkarya dan mencoba teknik-teknik baru.
Wire Jewelry bukan sekedar “perhiasan” sebagaimana umumnya. Wire Jewelry mempunyai “nilai lebih” karena hanya bisa diproduksi secara handmade. Karya ini juga memiliki “nilai seni” karena selalu menyertakan “rasa” dalam setiap karya. Bu Dewi sendiri, tidak pernah mengulang produk yang sama. Pasti ada sentuhan yang beda dalam semua karyanya.
Bagi konsumen, ada rasa bangga dan istimewa saat memakai perhiasan kreasinya karena ‘unik’, tidak akan pernah ada duanya (kecuali ada yang menjiplak karyanya).
Kegiatan yang awalnya hanya dianggap “mainan baru” penghilang stress, akhirnya berhasil mengisi hari-hari dengan kesibukan yang penuh warna karena tangannya sulit berhenti menari.
Karyanya menumpuk sampai dijadikan kado untuk sahabat, keluarga dan handai taulan. Namun setelah mendapat semua informasi dari komunitas di multiply, akhirnya karya-karya tersebut tersalurkan ke alamat yang tepat sebab banyak teman yang apresiasi dan tertarik untuk membeli bahkan memesan secara custom sesuai keinginan mereka, baik model ataupun materialnya.
Dari hobi, bisa dapat penghasilan tambahan secara ekonomi. Bahkan pernah diajak partisipasi dalam pameran “Inacraft”, salah satu pameran terbesar dan bergengsi yang memamerkan produk UMKM Indonesia di Jakarta. Namun sangat disayangkan karena bertepatan dengan persiapan penempatan tugas baru di Belanda. Dengan berat hati, ia tidak bisa bergabung.
Di tempat baru, ia tetap membawa serta semua “mainan” pelepas rindu sekaligus pereda stress yang turut melincahkan jari-jarinya untuk tetap menari. Karena itu, di mana pun ia berada, tetap bisa berkarya. Walaupun tiba di Italia bertepatan dengan lockdown secara nasional, Bu Dewi masih tetap eksis dan prolifik. Sempat mati gaya karena tidak bisa blusukan mengeksplorasi wilayah sekitar, tapi kegiatan wire jewelry sekali lagi membantunya untuk melupakan kejenuhan karena terkungkung dalam rumah nyaris sepanjang hari.
Salah satu kreasi wire jewelry yang dihasilkan pada masa pandemi adalah bros yang diberi judul Sparkly Blue Druzy dengan efek gemerlap berupa kristal-kristal kecil di atas mineral yang menciptakan pendar warna-warni. Atau ‘Gunungan’, bros untuk disematkan di kebaya. Gunungan (kayon) dalam budaya orang Jawa berarti gerbang, biasanya dilengkapi dengan gambar Kalpataru, lambang pohon kehidupan.
Karya ini, menjadi lambang pengingat tentang pentingnya makna hidup. Ada gerbang yang menjadi awal dan akhir dalam panggung pewayangan (sandiwara kehidupan). Demikianlah budaya melingkupi kehidupan kapan pun dan di mana pun manusia melangkah.
Karya lain selama masa pandemi adalah wire cuff atau gelang mahar yang disiapkan sebagai tanda kasih seorang ibu untuk putra tercinta yang kelak menikahi istrinya untuk membentuk keluarga baru. Bukan intan berlian atau permata, tetapi akik; lambang kesederhanaan, mudah didapat, indah menawan, berdaya magis dan amerta.
Tiga bait sajak dengan lukisan sandal, diberi judul “Belajar dari yang paling bawah”. Maknanya cukup dalam yang mengingatkan bahwa untuk mencapai ATAS, selalu dimulakan atau diawali dari BAWAH. Tentang sandal itu sendiri, mewakili kisah kasih pasangan hidup, asmaraloka.
Ibu Era Dewi Setiyowati adalah ibu kreatif berjiwa seni yang senang menggali budaya jauh ke akar yang paling dalam. Hasil galian budaya, direfleksikan dalam aneka karya. Setiap karya, lahir secara unik dan sarat dengan makna filosofi di balik setiap goresan kuas, pena dan lilitan kawat yang membalut batu permata adiwarna.
“Saya belumlah sampai pada tahap profesional dalam karya karya itu. Mungkin baru sebatas hobi. Tapi bagi saya hidup adalah untuk belajar. Belajar hal-hal baru termasuk kreativitas dan kerajinan. Dan yang paling penting, belajar untuk menjadi manusia yang bermanfaat dalam apapun peran kita dan di mana pun kita berada,” ujarnya.
Penulis: Claudia Magany
Editor: Rieska Wulandari