Tidak semua perantau Indonesia beruntung bisa tinggal di kota besar di Italia.
Betsy (46 tahun) misalnya, tidak pernah membayangkan dirinya akan tinggal di kota kecil daerah pegunungan, jauh dari hiruk pikuk.

RI3SKA.COM – Tahun 2002, Ia diboyong hijrah mengikuti suami ke negeri pizza ini, tepatnya ke propinsi Salerno. Satu-satunya kendaraan umum di kota itu, hanya biskota yang mampir dua kali sehari, yaitu, pagi hari pada saat mengantar anak-anak ke sekolah dan siang hari pada saat menjemput mereka pulang dari sekolah.

Taksi tidak beredar sama sekali di kota yang berpopulasi 3000 jiwa ini.

Dari kehidupan bising di Jakarta, ia harus beradaptasi dengan kehidupan barunya yang drastis di sebuah kota yang sunyi.

Namun demikian hal positif dirasakan Betsy, Ia bisa menghirup segarnya udara pegunungan yang bersih alami.

Tahun pertama, ia beradaptasi dengan lingkungan keluarga, selanjutnya memasuki tahun kedua, ia mulai berkenalan dengan dunia luar bahkan mulai bekerja di perusahaan perkebunan dan Betsy merasa beruntung sekali, bisa pergi ketempat bekerja dengan menumpang kendaraan tetangga yang kebetulan bekerja di tempat yang sama.

Kemudia Betsy mendapatkan pekerjaan di bidang yang sama tak jauh dari tempat tinggalnya dan setelah kelahiran anak pertamanya akhirnya Betsy memutuskan untuk mengurus anak tercinta.

Betsy kebetulan tinggal bersama mertua dan mulai menerima tawaran mertua untuk belajar merajut, yang dimulai dengan membuat dua lembar selimut motif ‘granny square’.

Melihat hasil yang luar biasa, ibu mertua Betsy makin semangat untuk menularkan ilmu jahitnya dengan menggunakan mesin jahit model genjot, yang karena usia jebol saat dipakai dan karena termasuk barang antik (vintage), tidak ada yang menjual onderdil pengganti, akhirnya Betsy membeli mesin jahit semi modern yang bertenaga listrik.

Kali ini, mertuanya yang harus belajar mengendalikan mesin yang ritmenya lebih cepat dari mesin jahit genjot.

Sambil mencoba mengenal karakter mesin, Betsy mulai menjahit bagian yang serba lurus seperti selimut, sarung bantal dan lain-lainnya.

Betsy fokus pada pekerjaan menjahit daripada merajut, memandang dari segi bisnis, di sektor rajut persaingan sudah sangat ketat.

Setiap ada kesempatan Betsy mempromosikan produk ‘patchwork’, yang sangat populer dengan aneka teknik jahitan “quit” pada saat itu.

Ia juga mengumpulkan literatur tentang jahit menjahit dan sedikit demi sedikit mengumpulkan kain dan segala perlengkapannya.

Hasil karya pertama Betsy adalah selimut bayi yang dihadiahkan untuk keponakannya yang baru lahir.

Karya ini sempat dipajang di media sosial yang langsung mendapat sambutan hangat dari teman-teman yang juga minta dibuatkan selimut patchwork. Tidak pernah terbayangkan,jika selimut tersebut telah menarik minat banyak orang di media sosial, bahkan ada peminat dari luar kota.

Animo sedemikian tinggi, hingga ia harus mengganti mesin jahit yang lebih modern, ia mengasah dan mengkombinasikan aneka teknik jahit dari ibu mertua maupun dari berbagai tutorial dalam karya-karyanya.

Selain itu Ia pun rajin mengikuti perkembangan model interior lewat majalah dan info-info dari media eletronik.

Bagi Betsy, “Beauty begins at home”, ia mulai mendekorasi rumahnya dengan gaya interior “shabby chic” semi modern. Sentuhan-sentuhan romantis dalam jahitan Betsy, mengambil latar lokasi rumahnya yang terletak di daerah pegunungan.

Penggunaan warna pastel mendominasi di setiap celah di dalam rumahnya seperti tirai, selimut, jok dan bantal kursi bahkan aneka lenan dapur dan lenan kamar mandi.

Bagi Betsy rumahnya ialah nirwananya, sumber ilham dan sekaligus ruang kerja.

Media sosial dan internet menjadi jembatan usaha antara dirinya dengan klien dan calon pembeli

Saat ini Betsy banyak menerima pesanan perlengkapan bayi, mulai dari selimut, handuk, tadah liur dan aneka asesoris untuk bayi. Semua ini terinspirasi dari anak-anaknya , yang pertama menginjak gadis remaja dan yang kedua masih duduk di bangku SD, selain itu ia juga membuat aneka keperluan untuk anak sekolah, dari mulai aneka bentuk tas, tempat pinsil, pembatas buku, sarung Ponsel dan notebook, sampai ke aneka dompet, masker nyaman yang dikaitkan dengan bando, bahkan bantalan pengganti kapas pembersih wajah dengan sistim ‘cuci ulang’ yang ramah lingkungan.

Karya Betsy mempunyai ciri yang sangat khas, baik berupa sentuhan patchwork maupun sulaman tangan dengan garis tepi ala tusuk Jepang ‘sashiko’ (jahit jelujur).

Ciri khas lainnya, menggunakan teknik sulam tangan pakai nama pemesan sebagai sentuhan klasik tradisional.

Karya yang lebih modern, yaitu dengan gaya menggambar bebas di atas kain atau aplikasi dengan teknik “freehand machine embroidery” yang kini sedang sangat tren, juga menjadi bagian dari koleksinya.

Selain menjahit ia mulai melirik dunia patisseri (pastry) dan fotografi. Ketiga hobinya bisa dibingkai dalam satu sajian seperti foto “snack” atau makanan cemilan yang ditampilkan dengan alas piring dan gelas patchwork karya tangannya misalnya untuk edisi paket ulang tahun.

Karya Betsi dapat Anda temui di akun IG Betsycreates.

Betsy juga membagi ilmunya lewat YouTube untuk menularkan warisan pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari mertua yang menerapkan motto “Charity begins at home”.

Inilah kisah dari Salerno, sebuah wilayah yang sangat luas dengan seribu segi antara laut, pegunungan dan perbukitan dan terkenal sebagai penghasil anggur, tomat dan zaitun, bahan utama pizza napoletana serta lemonnya. Betsy telah ‘meraki’ di negeri ini; yaitu melakukan sesuatu dengan jiwa, kreativitas dan cinta.

Penulis: Claudia Magany
Editor: JG, RW

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X