Wawancara eksklusif dengan Prof. Massimo Galli, Direktur Penyakit Infeksi, Rumah Sakit Luigi Sacco Milan, Italia.

RI3SKA.COM – Ide tentang memberikan sertifikasi vaksinasi sebagai surat jalan bagi penduduk yang ingin melakukan perjalanan antar negara ditentang oleh Prof. Massimo Galli, Direktur Infeksi Rumah Sakit Luigi Sacco, Milan yang khusus menangani pasien Covid-19 dalam pertemuan daring eksklusif dengan siswa kelas bahasa Italia untuk orang asing antara lain dari Brasil, Banglades Cina, Indonesia, Mesir, Peru, Thailand dan Ukraina yang dikoordinasi oleh profesor Paola Riso dari Sekolah Bahasa Italia untuk Orang Asing  C.P.I.A 5, di Milan pada pekan lalu.
Menurut Galli ia tidak tahu apakah ke depan akan ada sertifikasi internasional untuk vaksinasi, namun sebelum menerapkan hal itu, ada hal yang harus dipertimbangkan.

“Saya belum tahu apakah akan terbit sertifikasi internasional vaksinasi, tapi ini adalah sebuah masalah serius, karena jika kita menerapkan itu, malah akan membuat malu beberapa negara karena pada saat ini, di seluruh dunia baru Israel dan Inggris saja yang mampu melakukan vaksinasi sesuai target, sementara negara lain sedang dalam masalah memenuhi target vaksinasi, jadi kita harus memikirkan ulang untuk menerapkan sistem ini,” ujarnya.

Ia tetap menekankan pada saat ini, mobilisasi manusia harus ditekan hingga vaksinasi mencapai target angka 70 persen populasi umat manusia. Oleh karena itu, ia mendorong agar setiap negara dengan vaksin yang dimiliki, untuk segera dan sebanyak mungkin melakukan vaksinasi pada populasinya.

“Saat ini yang harus kita lakukan adalah optimalkan mitigasi, memberikan  pemahaman umum mengenai bahaya Covid-19 serta tetap restriksi pada pergerakan orang. Virus berjalan bersama orang, virus bergerak bersama manusia.  Manusia bergerak lalu bertemu dengan manusia lain, di kota ataupun di luar kota. Diantara mereka bisa saling menularkan infeksi, karena itu penting untuk mengintervensi mobilisasi orang.” tandasnya.

Meski ini sepertinya tampak sulit dan berat apalagi dalam konteks ekonomi dan aktivita manusia, tapi ini merupakan prinsip fundamental.
“Kita juga harus melanjutkan dengan inisiatif melacak infeksi misalnya dengan melakukan bayak tes di sekolah-sekolah,” ujarnya.

Ia menambahkan, memerangi Covid-19 harus menjadi perjuangan bersama seluruh negara.  Menurutnya, Tidak ada istilah, covid-19 hanya diperangi oleh negara yang ekonominya mapan, negara yang kurang mapan juga harus bisa melakukannya, sebab apabila infeksi tetap berputar di negara tersebut, maka akan sangat mungkin infeksi menyebar ke negara lain, oleh karena itu, setiap negara wajib saling membantu, terutama yang mampu, harus sedia membantu yang kurang mampu.  “Ini perjuangan bersama,” ujarnya.

Ia menegaskan, vaksin dengan kualitas buruk tidak ada, karena pada kenyataannya semua vaksin telah dipersiapkan dengan kehati-hatian dan kewaspadaan. “Yang membedakan adalah khasiatnya,” ujarnya.

Misalnya pada vaksin hasil teknologi mRNA  seperti yang dimiliki Pfizer dan Moderna, dianggap  sangat inovatif karena memiliki kapasitas imunologi yang optimum menimbang kemampuannya dalam menghasilkan produksi antibodi saat  menghadapi spike atau virus.

“ Namun vaksin ini sangat sensitif, dalam arti vaksin ini dibuat sedemikian spesifik sehingga bila  muncul varian dengan kemampuan di luar kapasitas vaksin, maka vaksin ini tidak valid lagi contoh dalam hal ini, saat menghadapi virus varian dari Afrika selatan, kapasitas proteksi vaksin terlihat berkurang,” ujarnya.

Ia juga menentang pembelian vaksin dengan cara mandiri. Dalam hal ini, bukan soal uang yang kurang tapi ketersediaan vaksinnya.

“Jadi masalahnya bukan dana pembelian vaksin tapi stok vaksin. Pabrik dan produsen yang menjanjikan vaksin akan datang dalam jumlah yang sudah disepakati, ternyata sampai saat ini tidak mencapai target dan inilah yang membuat program vaksinasi terhambat, situasi yang menjadi kurang nyaman bagi kita semua,” ujarnya.

Ia juga menyerukan agar pemerintah di setiap negara tetap memberikan vaksinasi bagi penduduk yang tidak memiliki kelengkapan dokumen dan jaminan sosial.  Ia mengatakan, mereka ini semestinya juga menjadi target vaksinasi, bahkan harus mendapatkan vaksin.

“Karena bila mereka berada dalam posisi risiko tinggi terpapar, maka mereka juga dalam posisi resiko menularkan. Selain itu, dalam  perspektif  keadilan dan dalam etika, juga dalam cara pandang epidemologis, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendapatkan vaksinasi. Vaksin ini untuk mereka dan untuk semua,” tuturnya.

Penulis: Rieska Wulandari
Editor: JG

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X