RI3SKA.COM – Instruktur mengemudi saya memberikan materi mengenai rambu, bahwa rambu lalulintas di Italia bernama onda verde atau ombak hijau. Rambu itu akan menyala dengan menganjurkan kecepatan tertentu pada pengemudi, agar sepanjang jalan yang penuh rambu lampu lalu lintas, sang  pengendara yang melaju dengan kecepatan tersebut, bisa selalu mendapati lampu hijau di setiap persimpangan.

Pengendara boleh saja tidak mematuhi anjuran ini dan melaju melebihi kecepatan yang disarankan, namun hasilnya akan sangat mengecewakan karena dia justru akan mendapati lampu merah dan malah harus berhenti, maka percuma saja melaju kencang kalau toh hasilnya malah kena lampu merah.

Demikianlah sejak adanya Virus SARS CoV2 ini, hidup tak bisa lagi melaju kencang seperti sedia kala, semua harus dibatasi dengan aturan tata tertib baru atau yang kita kenal dengan protokol, akibatnya, manusia harus mulai mengorbankan pengembaraan-pengembaraan yang biasanya bisa diatur disesuaikan saldo dan “jatah cuti” atau jatah perjalanan dinas dan penugasan.

Manusia mau tak mau, dipaksa mengatur kecepatan dan laju mobilitasnya. Mereka yang biasa sarapan di jakarta, makan siang di Bali dan bermalam di pantai Labuan Bajo tentu terganggu sekali dengan ritme yang harus diatur supaya penyebaran makhluk yang nyaris tak kasat mata tersebut bisa ditekan.

Pengorbanan tak hanya sampai di situ, deretan tata tertib memanjang dan berkali-kali disesuaikan melihat kondisi dan dituasi, dari mulai soal belanja, berkunjung ke rumah sahabat, kenduri, reuni dengan teman satu kampus, liburan dan pulang kampung, ibadah, janjian ke diskotik, melayat di pemakaman, besuk ke panti jompo, janji potong rambut dan perawatan tubuh berupa pijat atau kerik, semua masuk dalam daftar yang harus diseleksi dengan seksama.

Dari semua daftar tetek bengek tersebut, yang berkaitan dengan waktulah yang paling berat. Apalagi ketika kita semua harus terkurung dalam tembok domestik, yang kalau rukun dan akur tentu akan terasa indah, tapi kalau abusive dan penuh intimidasi, maka akan menjadi bentuk kekerasan baru.

Soal waktu ini, saya perhatikan, Italia memiliki daya adaptasi yang luar biasa terhadap waktu. Secara budaya, karya-karya kuliner mereka tak lain karena mereka sangat menghargai peran sang waktu dalam memproses makanan, ambillah contoh susu.

Ketika baru diperah, dia akan dikonsumsi sebagai susu segar, diaduk sebentar, maka menjelma menjadi mentega atau krim yang tahan lebih lama, diberi larutan koagulan atau pengental, maka jadilah keju segar yang cukup awet untuk dikonsumsi selama 24 jam bahkan 48 jam atau diberi biang bakteri baik sehingga menjadi yogurt.

Jika masih ada sisa, maka susu diproses lagi dengan jangka waktu yang sudah ditentukan, misalnya untuk keju parmesan, minimal diproses selama tiga bulan, enam bulan, 12 bulan, 18 bulan bahkan 36 bulan, hasilnya keju berkualitas yang awet dan sangat disukai oleh masyarakat lokal bahkan menjadi komoditas ekspor ke mancanegara.

Tak hanya peternak dan petani susu, petani anggur pun meanfaatkan waktu sebagai kawan produksi mereka. Saat baru panen, maka mereka sudah menyisihkan buah segar untuk dikonsumsi, kemudian ada yang dikeringkan dan kita kenal dengan raisin, sisanya yang sangat banyak itu, dibuat sirup yang difermentasi dalam variasi waktu antara 3 sampai 9 bulan tergantung jenis minuman yang ingin dicapai, jadilah mereka mampu mengawetkan hasil ladang, menjadi minuman wine (minuman anggur) yang justru karena kadar alkoholnya, mampu memberikan efek kesehatan pada tubuh, bila diminum dalam porsi kecil yang rutin.

Tak hanya mampu mengawetkan hasil ladangnya, produk yang telah diproses ini menjadi komoditas yang dikenal dunia bahkan mendapat kehormatan khusus sehingga biasanya diminum pada acara-acara penting yang dihadiri oleh undangan yang dianggap penting oleh yang empunya pesta.

Lihainya masyarakat Italia dalam memanfaatkan waktu 400 tahun lalu menerapkan sistem karantina apabila ada wabah penyakit baru yang menular dan berpotensi membahayakan kesehatan dan nyawa penduduk. Karantina sendiri berasal dari kata quaranta yang berarti 40 dan biasanya pasien dipisahkan selama 40 hari sebagai upaya memutuskan rantai penularannya.

Cara memisahkan pasien yang mengidap sakit di tempat khusus dan  mentutup kontak, sehingga infeksi tidak menular itu ternyata cukup ampuh untuk menahan penularan dan bahkan tabib bisa merawat pasien hingga sembuh.

Kemampuan Italia dalam “mengulur” waktu untuk menahan agar sumber infeksi tidak merambat ini juga disampaikan secara langsung oleh Direktur Medis Rumah Sakit Luigi Sacco, Massimo Galli, yang memimpin langsung penanganan pasien Covid-19 di region Lombardia, Italia yang merupakan region yang pertama kali meminta karantina wilayah untuk mengurangi penularan infeksi.

Massimo Galli (Foto: Rieska Wulandari)

“Keputusan untuk diam di rumah hingga badai berlalu bukanlah keputusan baru, secara sejarah kita sudah tahu dan sudah pernah menjalankannya dan strategi tersebut berhasil,”ujarnya saat berbicara dalam pertemuan dengan pers secara daring yang dikoordinasi oleh Asosiasi Jurnalis Asing di Italia, Stampa Estera pada 6 November yang lalu. 

Ia menambahkan tentu saja, setiap negara harus mencari solusi untuk mengantisipasi masalah ini, antara lain dengan vaksin, namun vaksin pun harus dibuat dengan langkah yang benar sesuai dengan prosedur dan strandar kualitas yang telah diterapkan oleh badan yang berwenang. Produsen juga menurutnya harus dapat memberikan informasi, apakah vaksin tersebut dapat dilakukan hanya sekali seumur hidup atau harus mengulang pada periode tertentu seperti vaksin flu yang saat ini sudah ada.

Senada dengan Massimo Galli, Direktur Institut Spallanzani di Roma, sebuah rumah sakit yang juga menangani langsung para pasien Covid-19 di wilayah Lazio dan menjadi rujukan nasional, Francesco Vaia, dalam pertemuan daring pada 24 November, mengatakan bahwa vaksin yang baik adalah vaksin yang dibuat dengan prosedur yang benar, memenuhi standar dengan kualitas yang baik dan produsen harus dapat memberikan keterangan mengenai proses produksi vaksinnya secara transparan kepada publik.

Bersabar, tampaknya menjadi kata kunci di tahun ini, sebab Virolog senior Andrea Crisanti dari dari  Universitas Padua, Region Veneto yang memimpin penelitian dengan melakukan te spada 3000 warga di kota Vo’ dan menghasilkan kesimpulan bahwa banyak pasien Covid-19 ternyata tidak memiliki gejala, maka temuan ini menggemparkan dan menjadi game changer dimana pemerintah Italia memutuskan untuk melakukan karantina wilayah, untuk menghindari penyebaran virus yang lebih meluas.

Andrea Crisanti yang dalam pertemuan daring pada 2 November lalu, mengatakan, perlu waktu beberapa tahun (di stasiun televisi Ia bahkan mengatakan dibutuhkan lima hingga delapan tahun) untuk mendapatkan vaksin dengan mutu dan kualitas yang dapat diandalkan dan dijamin kemanjurannya, oleh karena itu, menurutnya selama belum ada vaksin yang dapat diandalkan, maka teknik “membuka dan menutup” merupakan teknik yang paling masuk akal.

Andrea Crisanti (Foto: Rieska Wulandari)

Memperhatikan waktu, Jurnalis sains berlatar belakang Biologi Barbara Gallavotti yang juga menulis buku tentang  infeksi penyakit menular, berjudul Le Grande Epidemia Come Diffendersi (Epidemi Besar, Bagaimana Menghadapinya) yang terbit pada Mei 2020.

Menurutnya, para ahli, seiring dengan waktu, telah memperkirakan akan adanya pandemi, karena dalam dunia riset sudah terlihat beberapa indikasi antara lain adanya beberapa infeksi besar seperti ebola, virus Zika, SARS, MERS dan belasan jenis infeksi lain yang muncul dan bisa tersebar secara natural dan kita manusia selalu lebih padat dan pertanian kita, menguasai hutan dan alam, oleh karena itu, para ahli sudah memprediksikan bahwa akan ada, sebuah momentum dimana akan hadirnya agen infektif yang hadir secara natural yang bisa menyerang.
Panjangnya daftar pandemi yang terjadi di dunia tersebut, berhasil ditahan sehingga tidak menginfeksi Eropa karena terbatas di wilayah – wilayah tertentu.

Salah satu proyek penelitian dimana para ahli, berfokus pada pencarian mikroba dan inang yang membawa mikroba tersebut untuk dapat mengidentifikasikan mikroba dan binatang liar yang membawanya, namun proyek yang dikenal dengan nama Predict tersebut dihentikan oleh Amerika pada Maret 2020.

Ia mencontohkan, region Lombardia selalu sulit untuk menangani pandemi karena memiliki kasus yang besar, populasi yang besar dan terkoneksi dengan terlalu banyak pihak. “Karena itu bila kita tidak menghentikan sirkulasi virusnya, maka virus ini akan terus menerus menyebar,” ujarnya.

Ia juga mengaku sangat bangga dengan sistem kesehatan di Italia, yang merupakan sistem kesehatan publik yang pada prinsipnya menjamin kesembuhan semua orang.

“Namun pandemi ini memang bukan hal yang mudah untuk ditangani,” tuturnya.

Diantara negara-negara Eropa, menurutnya, Finlandia telah berhasil menahan penyebaran dalam angka yang sangat rendah, mereka telah melakukan lockdown yang pendek yaitu selama 2 bulan dan karantina yang sangat terstruktur.

“Namun setiap negara memiliki karakteristiknya sendiri. Finlandia memiliki populasi 5 juta penduduk dan 2,5 juta diantaranya menerapkan app dan mereka sudah biasa bekerja jarak jauh, mereka punya rencana jangka panjang untuk situasi krisis karena telah dilatih menghadapi perang dingin, sehingga mereka cukup siap,” ujarnya.

Namun menurutnya, untuk bisa menerapkan prosedur yang benar di sebuah negara, maka data merupakan hal yang paling penting agar bisa memahami apa yang bisa dilakukan dalam menangani dan mengantisipasi penyebaran virus.

Di Jerman misalnya, data sedemikian akurat sehingga mereka tidak perlu memasukkan restoran dalam daftar usaha yang ditutup, sementara di Korea terlihat bahwa acara religius merupakan salah satu kegiatan yang menimbulkan penyebaran yang sangat masif.

Barbara juga mengingatkan bahwa para ahli sedang mencari tahu, apakah ada kemungkinan bahwa virus sebenernya melakukan sesuatu pada organ pasien yang terinfeksi namun tak bergejala, sehingga  memberikan efek tertentu yang tersembunyi.

“Para ahli masih terus melakukan riset untuk mencari tahu,  kemungkinan-kemungkinan tersebut,” ujarnya.

Sebagai informasi, Italia telah menerapkan karantina menghadapi gelombang dua Covid-19 ini sejak 3 November dan setelah beberapa pekan hidup dalam gaya mirip “hibernasi”, penyebaran virus dapat ditekan dan zona-zona yang tadinya hampir semua merah, secara berangsur mulai memudar dan menjadi oranye, termasuk wilayah Lombardia. 

Namun meski situasi sudah membaik, pemerintah tetap pada keputusan tidak memperbolehkan pesta natal dan tahun baru, sebagai upaya mengantisipasi ledakan baru usai pesta.

Saya sempat bertanya kepada Massimo Galli, apakah masuk akal bagi Italia untuk terus menerapkan sistem buka tutup dan isolasi, sementara negara lain tidak melakukannya, dengan alasan ketidakmampuan ekonomi dan ketidakmampuan sumberdaya, Galli menjawab, saat ini setiap negara harus melakukan yang terbaik untuk memgurangi penyebaran virus, oleh karena itu, solidaritas negara yang mampu memiliki peran penting dalam membantu negara-negara yang paling miskin dan kesulitan dalam menghadapai pandemi ini. Menurutnya, Ini adalah kewajiban moral semua bangsa.

Virus SARS Cov2 ini seperti mengingatkan manusia, bahwa hidup dalam kecepatan tinggi tak selamanya mendapat keuntungan maksimal, ada kalanya manusia harus melambat, memperhatikan rujukan yang diberikan oleh para ahli, dan mungkin kita akan menemukan rambu rambu bernama Onda verde, yang memberikan kita kesempatan untuk terus hidup, meski dalam kecepatan lambat.

Penulis: Rieska Wulandari – Jurnalis, ketua Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia (ISKI) Cabang Eropa.
Editor: Syahrul Gunawan

By Redaksi

Minds are like parachutes; they work best when open. Lord Thomas Dewar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X