RI3SKA.COM – Pada 25 Oktober lalu, saya diundang oleh Ketua Ikatan Sarjana (Ilmu) Komunikasi (ISKI) Nasional yang juga dekan di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Dr. Dadang Rahmat Mulyana Msi, SH., serta oleh Konsulat Jenderal Indonesia di KJRI New York, Amerika Serikat yang juga menjabat sebagai Ketua ISKI cabang Amerika, Dr. Arifi Saiman, MA untuk menjadi pembicara dan membagi pengalaman tentang pekerja profesional di luar negeri yang dianggap memiliki potensi terutama dari dunia jurnalistik.
Selain saya yang yunior, tentu saja hadir yang jauh lebih senior, mbak Eva Mazrieva yang meniti karier di bidang jurnalisme sejak tahun 1995 dan hijrah ke Amerika pada tahun 2010 dan berkarier di Voice of America yang berbasis di Washington.
Hadir sebagai pembicara juga, PLT Deputi Penempatan dan Perlindungan Kawasan Amerika dan Pasifik, Dwi Anto. Selain para pembicara, hadir pula mantan Duta Besar Indonesia untuk Senegal, Andarjati. Acara ini sekaligus juga memperingati ulang tahun ISKI ke-37.
Membuka pembicaraan antara Amerika, Eropa dan Asia tersebut, yang diikuti oleh puluhan peserta, Konjen mengatakan, jurnalis di luar negeri memiliki posisi strategis dalam membantu menjalin relasi internasional. Ia mencontohkan beberapa jurnalis asing yang tampil di televisi Amerika ternyata berhasil menaikkan citra dan pamor negara dimana sang reporter atau presenter tersebut berasal.
“Negara tersebut awalnya tidak populer, tapi begitu ada reporter dari negara tersebut muncul di televisi, publik mulai mencari tahu dan akhirnya negara tersebut turut naik popularitasnya karena kehadiran reporter tersebut di televisi,” demikian dikatakan Pak Arifi.
Selain itu, menurut beliau Indonesia harus mulai membuka diri untuk mengirim tenaga ke luar negeri dengan kapasitas yang tinggi, sehingga dapat memasuki sektor profesional misalnya di sektor perusahaan minyak, perusahaan IT, dan dunia komunikasi yang termasuk dunia yang paling memiliki kans namun sayangnya tidak masuk dalam radar.
Menurutnya potensi di bidang ini cukup menjanjikan dengan nilai sebanyak 654.327 milyar USD.
“Sudah krusial untuk menempatkan jurnalis Indonesia di media-media internasional baik itu cetak maupun elektronik, karena kelompok pekerja ini, sangat strategis membantuk branding Indonesia di mata internasional,” ujarnya.
Senada dengan Konjen, Bapak Dwi Anto mengatakan saat ini Indonesia telah mengirim 6 juta pekerja di berbagai negara, yang masuk dalam kategori tiga kategori yaitu kategori dasar pada bidang domestik, pertanian dan perkebunan, serta anak buah kapal, kategori menengah pada bidang hospitality (restoran, kafe,hotel, kapal pesiar, kesehatan (perawat) dan logistik.
Kategori ketiga adalah kategori profesional yaitu teknisi, insinyur di bidang minyak, gas bahkan ada yang menduduki posisi CEO.
Saat ini, dengan covid-19 para pekerja di sektor dasar dan menengah, terpaksa harus pulang ke tanah air, karena wabah yang menimpa negara-negara mereka dan perusahaan menghentikan kontrak kerja mereka secara sementara.
Dwi Anto, mengatakan sektor komunikasi, media massa dan penyiaran perlu menjadi pertimbangan untuk masuk dalam radar potensi devisa luar negeri.
Menanggapi pernyataan tersebut, jurnalis senior Eva Mazrieva mengkonfirmasi bahwa bekerja di perusahaan media internasional, memungkinkan para jurnalis untuk mapan secara ekonomi, mendapat perlindungan dan hak sebagai pekerja profesional serta mampu menghasilkan pendapatan serupa dengan pejabat diplomat, dengan kisaran nilai 60.000 – 170.000 USD per tahun.
Selain itu, menjadi pekerja pers di luar negeri, juga memungkinkan dirinya untuk memiliki akses dan berbicara langsung dengan narasumber dan mengkonfirmasi langsung kesimpangsiuran berita yang kerap timbul dari tulisan media massa yang kurang mendalam ketika menggarap berita akibat berprinsip pada bisnis semata (populer dengan sebutan click-bait).
Menambah pernyataan Eva, menurut saya, keberadaan jurnalis Indonesia di luar negeri juga membantu Indonesia untuk memiliki proporsi berita yang lebih independen dan lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri.
Tidak semua berita yang berkaitan dengan kebutuhan pembaca tanah air diberitakan oleh media asing di luar negeri, oleh karena itu, Indonesia perlu memiliki jurnalis baik itu melaui kantor berita atau media nasional yang membangun kantor cabang di luar negeri atau jurnalis freelance yang mukim di luar negeri untuk mengisi kekosongan pemberitaan yang selama ini tidak tergarap oleh media asing dan menjadi jembatan dalam mengisi kekosongan informasi ini.
Penulis: Rieska Wulandari – Jurnalis, ketua Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia (ISKI) Cabang Eropa.
Editor: Syahrul Gunawan
masyarakat Indonesia sangat memerlukan informasi yang independen serta aktual, karena dengan situasi politik di Indonesia yang masih belum stabil terkadang media menjadi berat sebelah dan terkadang berita dari luar negeri juga seperti “tersaring” , jadi saya sangat setuju jika jurnalis kita banyak yg bisa langsung mengabarkan dari “origin area” berita tersebut…
well done !
Halo, terima kasih untuk atensi dan dukungannya ya. Betul, harus lebih banyak lagi jurnalis Indonesia di manca negara, agar kita bisa mendapat informasi yang lebih jelas dan independen.
I’m gone to tell my little brother, that he should also go to see this web site on regular basis to take updated from most
up-to-date gossip.