RI3SKA.COM – Sebuah pengalaman bekerja di kantor berita Jepang di Jakarta pada saat wabah Bird flu dan pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 di Italia.
Bekerja sebagai jurnalis di kantor berita Jepang pada saat Indonesia menghadapi kasus infeksi virus H5N1, atau Asian Avian Influenza yang dikenal juga dengan nama Bird Flu sekitar tahun 2006-2007 membuat saya memahami bahwa Jepang sebagai negara yang sangat kuat di bidang Ekonomi dan industri, sangat awas dengan kemungkinan transmisi infeksi human to human karena itu adalah cikal bakal dari pandemi.
Apakah karena Jepang takut? Bukan, tapi karena Jepang ingin melindungi warga negaranya dari kemungkinan infeksi. Negara matahari terbit ini, memiliki demografi yang sangat khas dimana warga lanjut usia tertinggi di dunia dan pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk melindungi kaum yang rentan ini dari kemungkinan infeksi.
Atasan saya, kepala biro JIJI Press di Jakarta, Tatsuya Mizumoto, menugaskan saya untuk memantau situasi penanganan infeksi birdflu di Indonesia kala itu. Mendapatkan penugasan ini tentu saja saya jadi harus menhadiri konferensi pers tentang bird flu yang diselenggarakan di kementrian kesehatan secara reguler.
Saat itu, menteri Siti Fadilah Supari turun langsung memberikan paparan kepada jurnalis, lalu disambung oleh Ketua Komisis Penanganan Bird Flu Nasional, Bayu Krisnamurthi yang secara rinci memperlihatkan dan menjelaskan sistem deteksi dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah pada noktah-noktah yang terkena infeksi.
Bedanya dengan covid-19, birdflu saat itu merupakan kasus animal to human transfer, sehingga pemerintah bisa langsung memberantas biang masalah, dengan memusnahkan vektor virus yaitu unggas baik itu di peternakan maupun di pasar-pasar bahkan ingon-ingonan warga yang harganya jutaan demi mengantisipasi penyebaran virus ini, harus mau direlakan untuk dimusnahkan.
Saya ingat keganasan virus ini, adalah ketika narasumber bercerita, Ia punya 40 ayam, yang mati semua dalam satu malam akibat virus jahat ini.
Setiap hari atasan saya meminta update perkembangan infeksi dari mulai situasi peternakan, pasar sampai situasi korban manusia yang terjangkit akibat terekspose hewan yang terinfeksi.
Atasan saya berkata “Rieska, selama infeksi masih pada taraf animal to human, kita bisa eliminasi masalah dengan memberikan subsidi pada peternak dan memusnahkan vektornya, tapi kalau sudah human to human, kita tidak mungkin memusnahkan manusia yang terjangkit sakit ini dan ini jadi berbahaya!”
Dan memang sempat terjadi kasus human to human transfer secara terbatas dalam kasus bird flu di Indonesia, namun kementrian kesehatan segera mengisolasi keluarga-keluarga tersebut dan segera memutuskan rantainya termasuk memusnahkan unggas di kawasan itu.
TRANSPARANSI MENJADI MATA UANG YANG PENTING
Data yang akurat dan transparan menjadi mata uang yang sangat penting dalam menghadapi sebaran infeksi virus. Kenapa? Saat itu, Indonesia harus memberikan argumen bahwa tidak terjadi pandemi, karena pasien sudah bisa diisolasi dan penularan human-to human dapat dihentikan. Semua datanya jelas, terang benderang.
Termasuk ketika ada pihak luar yang ingin mengambil sample untuk keperluan membuat vaksin, segera mendapat tentangan keras dari kementrian kesehatan sebagai empu pemilik sample dan pertentangan ini berakhir dengan Indonesia memiliki hak penuh atas sample-sample tersebut.
WHO pun kemudian menyatakan Indonesia bebas dari pandemi, karena memang secara data dan situasi di lapangan, Indonesia berhasil memadamkan api penyebaran infeksi berupa animal to human transfer termasuk memutuskan rantai human to human transfer secara sistematis dan transparan.
Sampai sekarang pun kasus bird flu hanya terdapat pada hewan dan tidak menjangkit pada manusia lagi, karena setelah 10 tahun secara natural, masyarakat mampu membangun imunitas terhadap virus ini. Artinya antibodi juga tidak muncul sekonyong-konyong secara mendadak tapi butuh waktu bagi manusia untuk membangun imunitasnya.
Indonesia berhasil melindungin warganya dan menjaga martabatnya!
Empat belas tahun berlalu. Tiba-tiba, Cina mengumumkan ada kasus infeksi human to human transfer dan telah mengakibatkan kematian ratusan orang, kemudian dalam waktu singkat menjadi ribuan orang.
Saya secara naluri mengatakan, kalau sudah mati ribuan, artinya virus sudah menyebar tak terkendali, Catatan lainnya, Wuhan merupakan distrik industri dimana seluruh dunia, melakukan kerjasama langsung dan melakukan perjalanan langsung ke kota metropolitan ini.
Bisa saya katakan, 2020 diawali dengan situasi yang sudah buruk, Indonesia yang hanya memiliki “sedikit” kasus human to human transfer dalam birdflu saja sudah diawasi sedemikian ketat oleh WHO dan dunia seolah kecolongan dengan Cina.
Mau menyalahkan Cina atau WHO tentu sudah terlambat, sekarang waktunya untuk mencari akar masalah dan memadamkan api bersama.
Api bisa mati kalau tidak ada suplai oksigen, sama seperti virus bisa mati kalau tidak ada inangnya.
Saat infeksi SARS CoV-2 penyebab COvid-19 terjadi, saya sudah menetap di Italia, sehingga saya melihat dan merasakan langsung bagaimana Italia yang juga seperti Jepang, memiliki demografi lansia dan Italia menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia, dalam hal populasi lansia.
Tentu saja, prinsip Jepang dan Italia sama: melindungi kaum yang paling rentan bedanya Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang lumayan, Italia bolak-balik tekor, bila dibandingkan dengan negara-negara anggota Uni Eropa.
Tapi meski secara ekonomi situasi Jepang dan Italia sangat bertolak belakang, komitmennya melindungi penduduknya sama tinggi. Italia meski punya rapot merah di bidang ekonomi, telah membangun sistem kesehatan terbaik kedua di dunia, Jepang sudah jelas sistem kesehatannya termasuk juga yang terbaik di dunia.
Ketika berita infeksi menggema dari Cina, Italia langsung membuat task force dan ketika ada kabar bahwa virus ini hasil kreasi perang intelejen di laboratorium, Italia justru melawan rumor ini dengan intelegensia : membawa sebanyak mungkin sample ke laboratorium, memeriksannya secara seksama satu persatu, riset keras dan hasilnya dipaparkan dihadapan publik secara gamblang.
Hasilnya, argumen-argumen dari Cina yang mengatakan bahwa virus ini tidak ganas patah, virus ini hanya menyerang orang usia lanjut patah dan bahwa virus ini memiliki gejala khusus juga patah, sebab ada orang yang terjangkit namun tanpa gejala, dan informasi ini menjadi game changer dalam perang menghadapi virus ini.
TRANSPARANSI MENJADI MODAL PEMBANGKIT SOLIDARITAS ELIT POLITIK DAN ELIT EKONOMI
Data-data yang transparan ini sangat bermanfaat bagi pemerintah Italia untuk menggalang solidaritas dalam negeri, antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan kekuatan intelektual, harus bersatu dalam mengutamakan keselamatan warga .Tak hanya itu, data ini juga menjadi argumen kuat ketika Italia harus menutup seluruh negerinya dalam karantina nasional yang diberi nama Zona Protetta (kawasan pelindungan).
Upaya dalam mengkomunikasikan data yang tranparan dan reliable ini juga berbuah baik, pemerintah menjamin perusahaan dan melarang PHK, pekerja tetap diberi gaji basic (UMR) meski mereka di rumah termasuk pekerja harian juga mendapat jaminan subsidi UMR selama 3 bulan.
Pengusaha juga memperlihatkan itikad baik mereka dengan menyumbangkan berbagai APD dan peralatan medis, kebutuhan operasional dan lain sebagainya untuk menangani pandemi secara bersama.
Data ini kemudian juga menjadi bahan argumen Italia kepada sidang di Uni Eropa untuk mendapatkan support moril dan materil, dana pun dinyatakan akan turun untuk membantu Italia menghadapi pandemi.
Melawan virus yang infeksinya sudah menyebar kemana-mana, butuh strategi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek adalah: karantina, masker dan jarak sosial.
Saya ingat waktu bekerja di Jakarta, tahun 2007 datang kepala biro yang juga lama ditugaskan di daratan Eropa.
Suatu hari, boss baru saya kena flu, batuk dan demam, lalu Ia ijin tak ke kantor selama beberapa hari sampai demamnya turun dan ketika datang ke kantor, ia mengenakan masker.
Hampir meledak tawa saya kala itu, karena saat itu masker hanya digunakan oleh petugas medis yang bekerja di rumah sakit atau lab, melihat jurnalis pakai masker rasanya “lebay” banget. Tapi boss menatap saya tajam dan berkata: “Saya boss disini, cukup saya saja yang sakit, kalian jangan ketularan, jadi saya akan pakai masker dan kalau ada diantara kalian yang flu dan demam, sebaiknya ijin dan jangan masuk kantor sampai demamnya turun,” ujarnya.
Sejak saat itu, padangan saya tentang orang Jepang gila kerja, pupus sudah, Mereka memiliki value khusus tentang kesehatan, orang diberi kesempatan untuk berhenti sesaat, bukan karena malas, tapi karena ingin melindungi lingkungan dari kemungkinan yang lebih buruk.
Pelajaran dari Italia dan Jepang, semoga memberi inspirasi pada kita semua.
Tautan:
https://flutrackers.com/forum/forum/indonesia/indonesia-tracking-h5n1-outbreaks/-2007-general-news-including-multi-island-outbreak-threads/28059-bayu-krisnamurthi-the-man-in-charge-of-coordinating-bird-flu-response-indonesia
https://www.smh.com.au/national/bird-flu-death-confirmed-in-bali-20070813-t1c.html
https://www.cdc.gov/flu/avianflu/h5n1-virus.htm
https://news.cgtn.com/news/79497a4e77514464776c6d636a4e6e62684a4856/index.html
https://www.nature.com/news/2007/071219/full/4501137a.html
https://republika.co.id/berita/q9i5w2327/ketua-komnas-flu-burung-ungkap-12-kunci-mengatasi-pandemi
https://www.cnbc.com/2020/03/16/italy-supports-coronavirus-hit-economy-pm-hails-italian-model.html
https://www.france24.com/en/20200403-european-commission-italy-ursula-van-der-leyen-apology-coronavirus-covid19-giuseppe-conte
https://www.euronews.com/2020/07/21/european-leaders-agree-1-82-trillion-covid-19-recovery-fund-and-budget-after-marathon-summ
https://en.wikipedia.org/wiki/European_Union_response_to_the_COVID-19_pandemic
https://time.com/5816650/italy-solidarity-coronavirus/
Penulis: Rieska Wulandari – Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia (ISKI) Cabang Eropa.
Editor: Syahrul Gunawan
Thanks infonya rieska… Keren banget deh
Terima kasih ikuti terus update dari gagas media